A.
Latar Belakang Masalah
Dalam era
globalisasi ini para pelopor dunia pesantren dan
ajaran-ajaran sosial keagamaan merupakan topik riset yang sulit dan menantang,
akan tetapi bisa dilaksanakan.[1] Secara
teknis pesantren adalah tempat santri tinggal dan belajar. Lembaga pesantren atau
pondok terdiri dari guru sebagai pemimpin, serta beberapa kelompok santri atau murid yang
jumlahnya tidak sedikit bahkan bisa sampai ratusan. Komunitas pesantren ini
telah berperan dalam perkembangan sufi di tanah air.
Dalam buku karangan Abdurrahman Mas’ud ini juga akan menerangkan dan menganalisa
lima ulama penting yang diasumsi sangat berpengaruh dalam dunia pesantren.
Mereka adalah tokoh ensiklopedis dan multidisiplin ilmu, Nawawai al-bantani
(meninggal 1897), spesialis hadis mahfuz Tremas atau at-Tirmisi (meninggal
1919) yang biasanya dijuluki al-muhaddits dan al-Musnid, kiai yang paling
karismatik spiritualis Khalil Bangkalan (meninggal 1924), K.H.R Asnawi Kudus
(1861-1959), seorang kiai da’i keliling yang terlibat langsung dakwah bi
al-maqal wa al-hal melalui kemampuan bahasa yang retorik dan efektif, dan K.H
Hasyim Asy’ari (1871-1947), sang kiai yang pergerakan, inspirator nasionalis di
dunia pesantren.[2]
Al-Bantani dan at-Tirmisi akan diklarifikasikan
sebagai guru-guru besar dunia pesantren, sedangkan tiga lainnya akan
dikelompokkan sebagai ahli strategi pesantren. Diantara kelima ulama ini sangat
berbeda dalam berkontribusi terhadap perkembangan dunia pesantren. Kelompok
pertama menandai dengan karya-karya produktif mereka, dan status istimewa mereka
sebagai Imam al-Haramain di Timur Tengah. Karya mereka semuanya
berbahasa Arab, dan tidak hanya dipelajari oleh para santri di Jawa akan tetapi
juga Muslim di berbagai penjuru dunia. Sedangkan tiga ulama terakhir, masih
belajar ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan dua guru tersebut. Meskipun dua
ulama menghabiskan mengajar di timur Tengah, tetapi posisi mereka sebagai
master intelektual dunia pesantren tidak diragukan lagi, karena mereka
merupakan bahan inspirasi dan kiblat dunia pesantren. Dan ketiga tokoh yang
merupakan ahli strategi dunia pesantren telah mendirikan lembaga-lembaga
pesantren di Jawa, Sunda dan Madura setelah mereka menyelesaikan pendidikan di
Hijaz. Mereka sebagai tokoh yang ampuh dan dihormati dan dikagumi. Selain itu mereka juga dianggap sebagai mastermind yang berhasil melembagakan
masyarakat santri dalam skala nasional.
Pemilihan ulama
tersebut bukan dengan cara asal-asalan, akan tetapi mereka mempunyai kriteria
lain untuk dipilih dan diputuskan ulama yang masuk dalam studi ini adalah kadar
pengaruhnya yang membentang luas yang melampaui masa mereka hidup hingga hari
ini atau dalam istilah asing disebut enduring
legancy, sehingga dengan demikian studi ini bisa disebut a view from within (melihat dari dalam).
Kekuatan lisan termasuk menyaksikan, berkomunikasi, dan interaksi tampak begitu
dominan dalam budaya kaum santri hingga pemimpin yang mudah dikenal dan
diagungkan sepanjang masa karena keberadaan mereka yang aktual dengan demikian
tradisi lisan memerankan peran penting dalam masyarakat santri.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka yang terjadi permasalahan adalah sebagai berikut:
- Bagaimana ajaran Nabi Muhammad tentang pendidikan Islam dipahami pada abad XIX dan awal di Jawa?
- Bagaimana para sarjana muslim Jawa memandang dan menerapkan doktrin-doktrinnya?
- Apa pengaruh jaringan intelektual ulama Jawa yang berada di Jawa dan Arab terhadap pendidikan kaum muslimin Jawa?
C.
Kajian Pustaka
Perkembangan Islam di Indonesia
telah memberi gambaran menarik tentang sebuah keunikan pengalaman, yang tidak
kurang dramastisnya daripada kejadian yang tengah berlangsung di Timur Tengah,
dan tidak kurang spektakuler pengaruhnya untuk masa sekarang Islam itu sendiri,
dan perkembangan ini belum memperoleh perhatian yang cukup. Bahwa kenyataannya
jumlah kaum muslim Indonesia melebihi keseluruhan populasi muslim Negara-negara
arab, dan muncul kebanggaan di kalangan kaum intelektual,
baik latar belakang pendidikan sekuler modern maupun ulama, namun Islam di Nusantara merupakan lapangan riset dan study
yang relative terabaikan oleh islamisis. Dan siapa pun yang berusaha memahami Indonesia harus familiar dengan elemen-elemen Jawa.
Dengan adanya karya-karya penting dapat memberi kekuatan Islam di indonesia khususnya jawa sehingga yang lebih signifikan
yaitu khususnya karya-karya Geertz dan para pengikutnya yang lebih menggunakan pendekatan dikotomis yang sangat mempertentangkan Islam modern dan tradisional, dan hanya menghasilkan gambaran permukaan serta sangat tidak adil terhadap substansi aktual di Jawa dan mengasosiasikan segala sesuatunya dengan latar belakang Aborogin atau
Hindu-Budha. Studi terpenting Geertz mengenai Islam, The Religion of Java, ditulis pada tahun 1960-an yang sering dijadikan rujukan oleh para peneliti. Dan karya ini ditentang oleh seorang sarjana Jepang, Mitsuo Nakamura, dan dua orang
ahli antropologi Amerika, Robert W. Hefner dan Mark R.Woodward.[3] Hal ini karena posisi jawa
yang berada di pinggiran dunia muslim, sehingga muncullah suatu tendensi di
kalangan islamict untuk meninggalkannya dalam setiap diskusi islam. Riset ini
berdasarkan sumber-sumber primer yang ditulis oleh orang islam jawa sendiri.
Sehingga muncullah ide “pelestarian budaya” yang berkembang dalam komunitas
santri yang merupakan salah satu kenyataan yang benar meskipun sebagian sarjana
tidak memperdulikan. Pelestarian budaya lokal merupakan salah satu ciri yang
menonjol dari budaya pesantren. Dan dengan beriringannya dengan esensi
“pelestarian budaya”, modeling juga sangat dipegang teguh dalam tradisi
pesantren, yang merupakan unsur penting dalam filsafat jawa.[4]
D.
Metodologi
Sumber utama dari historiografi Jawa adalah Babad
Tanah Jawa yang lumayan banyak digunakan.[5] Dan bagaimanapun juga sumber utama
yang digunakan untuk melakukan studi ini adalah sumber yang ditulis oleh para ulama pesantren itu sendiri. Para
penulis tentang hasil karyanya akan menjadi referensi sekaligus objek dari studi ini, anekdot-anekdot pesantren
yang diyakini memberikan inspirasi,
dan juga dukungan sejarah lisan melalui wawancara dan mempelajari cerita-cerita
popular yang berkembang dalam komunitas pesantren.
Dengan begitu penelitian ini menggunakan
teori Weber tentang karismatik yang digunakan untuk memperoleh nuansa yang
lebih luas tentang kepemimpian kiai sehingga tidak timbul hal yang aneh. Selain
menggunakan Teori Max Weber, peneliti juga menggunakan teori Durkheim tentang siosiologi
pendidikan yang digunakan untuk mengerjakan beberapa bagian riset ini. Sehingga komponen ini sangat membantu untuk menunjukkan kompleksitas elemen-elemen Jawa dengan fokus pada para pemimpin muslim dan kehidupan sosial mereka sehari-hari,
dan pokok ajaran meraka.
E.
Pembahasan
1.
Akar-Akar Ajaran Islam
Ideologi maupun proses belajar mengajar dipandang sebagai satu kesatuan, karena mencangkup dalam
pembentukan tradisi intelektual sunni juga akan
dilacak. Modeling dalam ajaran islam diidentikkan dengan uswatun hasanah dan sunnah hasanah, contoh ideal yang harus diikuti. Modeling
disini difokuskan pada person-person tertentu, yakni Nabi dan Walisongo. Dan keduanya tidak diraguan lagi karena contoh ideal, dan juga kiblat bagi kaum muslim Jawa.
Bagi kaum pesantren, minimal ada dua model
yaitu Muhammad dipandang sebagai model universal yang harus diikuti umat islam seluruh dunia termasuk muslim santri Jawa itu sendiri, dan Walisongo sebagai model domestik. Dengan kekayaan dua model ini, komunitas santri Jawa membedakan diri dengan modernis muslim Indonesia.
a)
Basis
Ideologis : Pemahaman Konseptual
Dengan melihat permulaan pendidikan
Islam haruslah disertai dengan pemahaman tentang motivasi
yang melekat pada proses belajar mengajar
yang dilakukan kaum muslim sepanjang sejarah dengan penekanan pada periode awal.[6] Hal ini berkaitan erat antara aktivitas belajar dan motivasi utama-nya, karena islam adalah satu agama yang menempatkan ilmu pengetahuan pada
status yang sangat istimewa. Sehingga Allah akan meninggikan derajat mereka yang beriman di antara kaum muslim dan mereka yang berilmu.[7] Ini merupakan signifikan bahwa wahyu pertama
yang diterima oleh Nabi dimulai dengan perintah ilahiah yaitu
“bacalah” (iqra’).[8] Ayat berikutnya menegaskan bahwa dengan pena (al-qalam)
Allah mengajarkan manusia mengenai bagaimana dan apa yang belum diketahui.
Ayat ini menunjukkan arti penting membaca sebagai suatu aktivitas intelektual dan menulis yang dilambangkan dengan al-qalam, dalam proses
belajar mengajar secara luas. Bagi kebanyakan kaum muslim,
Al-Qur’an bukanlah buku panduan atau petunjuk, akan tetapi juga sebuah seruan mencari
ilmu pengetahuan.
Pendidikan sepanjang hayat memiliki nilai tinggi di kalangan kaum muslim. Upaya mencari ilmu pengetahuan merupakan tugas atau kewajiban bagi setiap muslim, laki-laki dan perempuan. Menurut Nabi tinta para pelajar setara dengan darah syuhada’ di hari pembalasan nanti. Dengan guru dan murid
dalam proses belajar mengajar dipandang sebagai “orang-orang terpilih” dalam masyarakat
yang telah termotivasi secara kuat oleh agama untuk mengembangkan dan mengamalkan
pengetahuan mereka. Hal ini sesuai
dengan posisi seorang terpelajar atau berilmu, guru dan murid mempelajari
Al-qur’an telah dijamin oleh Nabi sebagai makhluk yang paling mulia. Dan selama
berabad-abad Al-qur’an dan hadits telah menjadi kurikulum inti dalam pendidikan
islam dan memberikan kontribusi dan memperkaya peradaban komunitas agamis. Hal
ini dapat dilihat dari banyaknya ilmuwan muslim yang hidup sejak XVIII dan
seterusnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa akar-akar ajaran Islam bisa
diketahui sejak masa paling awal lahirnya islam, dengan ciri ditandai dengan
formalitas.
b)
Model
1)
Muhammad:
Model Paripurna
Di kalangan kaum muslim, Muhammad dikenal luas sebagai seorang pendidik.
Prof. Dr. James E. Royster dari Cleveland
State University telah melakukan riset intensif tentang peran Muhammad
sebagai seorang guru, teladan, dan sebagai seorang manusia ideal, telah
membahas kesan-kesan kaum muslim terhadap Nabi mereka.[9] Dia
menyatakan bahwa mungkin tidak ada seorang pun dalam sejarah manusia yang lebih
banyak diikuti, daripada nabinya kaum muslimin (Muhammad). Bagi Royster,
Muhammad telah mengajarkan kebenaran dengan ucapan dan mengamalkan kebenaran
itu dalam kehidupannya. Bahwa Muhammad sebagai seorang guru bukan hanya masanya
saja, namun juga bagi seluruh kaum muslim pada masa sekarang. Dengan kata lain
guru itu adalah Muhammad dan muridnya adalah kaum muslim di dunia Islam. Sementra
Muhammad merupakan seorang guru yang aktual bagi para sahabatnya. Dan bagi kaum
muslim lainnya beliau menjadi seorang imaginary
educator. Bagaimanapun, seluruh kaum muslim haruslah mempelajari satu
ajaran yang sama dari Al-qur’an dan Hadits yang menjadi pegangan abadi dalam
kehidupannya.
Pendidikan disini bukanlah pendidikan formal, akan tetapi juga pendidikan yang fleksibel dalam usaha mengembangkan mental-moral melalui
ajaran Muhammad untuk perbaikan dan peningkatan religius. Sebelum adanya masjid, rumahlah menjadi salah satu tempat penyampaian ajaran islam. Rumah al-Arqam pada
masa permulan islam dijadikan sebagai pusat aktivitas agama batu, dan disinilah
Nabi menjelaskan doktrin-diktrin keimanan, sehingga beberapa orang menyatakan
memeluk agama islam. Selain itu Nabi juga menyampaikan ajaranya dengan hikmah
dan anjuran yang baik. Dan Nabi secara konsisten berdo’a agar Allah
membimbingnya dan menjadikan ajarannya sebagai ajaran yang mulia. Bahwa Nabi
merupakan inspirasi bagi para muridnya, sehingga mereka memiliki “kepercayaan guru”
dan “harga diri” dalam mengabdi kepada Allah dan meenegakkan kebenaran.
Gerakan sosial islam yang
disebarkan Nabi bukan hanya pendidikan normatif, melainkan gerakan sosial
keagamaan yang membawa kebahagiaan umat manusia.[10] Dari deskripsi normatif dan histori singkat, dapat
disimpulkan bahwa Muhammad telah mengedepankan keteladanan dalam beberapa hal
yaitu diharuskan memperoleh ilmu (thalab
al-‘ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin) dan nabi telah
mengangkat kemiskinan melawan para konglomerat yang menindas dengan menekankan
tanggung jawab si kaya serta menyuarakan hak-hak si miskin.
2)
Walisongo: Model Awal Jaya di Jawa
Di kalangan ini ilmuwan terdapat ketidaksepakatan mengenai siapa yang
memainkan peran utama dalam memperkenalkan dan menyebarkan ajaran islam di
kepulauan Nusantara. Bahkan kapan islam masuk Nusantara masih menjadi
perdebatan. Beberapa ilmuwan, seperti Van Leur, yang berpandangan bahwa para
pedagang Arab-lah yang memiliki peran penting dalam menyebarkan Islam di
Indonesia, sementara ilmuwan lainnya seperti
Anthony Johns, menilai bahwa proses Islamisasi tersebut lebih banyak dilakukan
oleh agen-agen sufi.[11]
Walisongo merupakan agen-agen
unik Jawa pada abad XV dan XVI yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan
sekular dalam menyiarkan Islam. Asal mula pesantren tidak bisa dipisahkan dari
sejarah pengaruh Walisongo abad XV-XVI di Jawa. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam yang telah berhasil mengombinasikan aspek-aspek sekular dan spiritual
dalam memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Dan fakta ini menunjukkan bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal
serta memodifikasikan ke dalam ajaran islam akan tetap bersandar pada prinsip
islam. Hal ini menarik diamati bahwa perubahan dalam bentuk konversi
Hindu-Budha ke islam terjadi pertama kali, diantara masyarakat nelayan dan
bukan kerajaan di pedalaman.
Pada abad XV para saudagar
muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah hingga
mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis. Komunitas ini dipelopori oleh
Walisongo dengan mendirikan masjid pertama di tanah jawa. Dan berkaitan dengan
konsep keteladanan, taqlid menjadi bagian penting dari religiusitas para
santri Jawa. Dan modeling merupakan bagian penting filosofi Jawa yang
sudah lama. dan kekuatan modeling sejalan dengan sistem nilai Jawa yang
menganut paternalism dan hubungan patron-client yang memiliki
akar kuat daam masyarakat.[12]
Bahwa Wali dalam
menyampaikan misinya diyakini sebagai penerus Nabi secara fisik dalam peran
serta sosial, untuk memperkenalkan dan memecahkan masalah masyarakat. Hal ini
sejalan dengan prinsip-prinsip Walisongo dalam menjalankan sunnah dan
menciptakan model, yang diyakini menjadi pelopor dalam penerapan syari’at dan
menciptakan sebuah standar model. Dan gerakan sufi dalam konteks Indonesia
hampir identik dengan terjadi di dunia Islam selama periode 500 tahun, sejak
abad XIII hingga XV sehingga dikatakan sebagai periode sufi dalam sejarah
Islam. Dan interaksi antara Sunisme
dan Syi’isme memiliki kontribusi yang
sangat besar mengenai komunitas Islam yang unik di wilayah. Dan sesungguhnya upaya
Islamisasi yang telah ditempuh oleh para Walisongo merupakan ekspresi “Islam Kultural”.
Sehingga pendidikan Islam atau tranmisi Islam yang dipelopori Walisongo
merupakan perjuangan blirian yang diimplementasikan dengan cara sederhana.
Pendekatan dan kebijakan
Walisongo terlembaga dalam satu esensi budaya pesantren dengan ideologis dan
kesejahteraannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis
dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri.[13]
Dan ajaran-ajaran Walisongo tidak dapat dipisahkan dari ajaran dasar sufisme. Karena
sufisme sebagai elemen aktif dalam penyebarkan islam di Jawa. Sehingga
pendekatan-pendekatan walisongo di kemudian hari terinstitusi dalam tradisi
pesantren.
2.
Muslim Santri di jawa Abad XVII/XIX
Ajaran Islam di jawa abad XVII dan XIX berada di bawah
bayang-bayang Walisongo dan bukanlah hal yang berlebih-lebihan. Dan hampir lima
abad setelah periode walisongo, pengaruh mereka masih terlihat sampai sekarang.
Kemenangan ini terjadi pada abad XV dan XVI, setelah zaman kuwalen (periode perwalian).
Pendekatan walisongo secara berkesinambungan dilanjutkan
melalui institusionalisasi pesantren, kesalehan sebagai jalan hidup santri,
pemahaman yang jelas terhadap budaya asli. Pengaruh walisongo dikuatkan oleh
Sultan Agung yang merupakan seorang pemimpin
yang saleh, yang senantiasa menjaga hubungan baik dengan kelompok ulama pada
abad XVII seabad setelah periode Walisongo, yang memerintah Kerajaan mataram di
Yogyakarta, jawa tengah dari tahun 1613 hingga 1613. Dan pada tahun 1641
memperoleh otorisasi baru “Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani” dari
pemerintahan Syarif Mekkah setelah mengirim orang utusan ke Mekkah untuk
mengajukan permohonan gelar tersebut pada tahun 1639. Dan agenda politik Sultan
Agung adalah mempersatukan kepulauan Indonesia di bawah bendera Islam.
Situasi yang sama juga terjadi pada permualaan dan akhir
abad XIX . Diponegoro (1785-1855) merupakan salah satu simbol lain kaum mujahid
(pejuang) Jawa atas perjuanagannya melawan kolonial Belanda dalam perang
Diponegoro (1825-1830). Dia memperoleh dukungan yang luar biasa dari ulama Jawa
beserta santrinya.[14] Dan di jawa khususnya
Jawa Barat terjadi perlawanan yang serupa yaitu pemberontakan sengit yang berkaitan
erat dengan gerakan kaum sufi, yang terlibat dalam pemberontakan ini adalah
para haji dan kiai. Para kiai memiliki otoritas untuk memberikan fatwa bahwa
mempertahankan Tanah Air adalah kewajiban bagi kaum mukmin. Dan para kiai bukan
saja kelompok yang berkewajiban merespons tantangan-tantangan kaum kolonial.
Hasyim Asy’ari (1871-1947), kiai pesantren yang paling
kuat di kemudian hari, yang memperoleh kesempatan untuk mengikuti perkuliahan
khatib di Mekkah, dan diperkenalkan karya-karya Muhammad Abduh (1849-1905),
yang bukan untuk diikuti namun sebaliknya untuk dikritisi. Bahwa Hasyim sangat menghargai tulisan abduh tentang tafsir dan
kumpulan karyanya yang mendorong bagi kebangkitan dunia muslim. Dan para
pelajar yang kembali dari Timur Tengah paling tidak tampaknya ada dua jenis
yaitu mereka yang menentang ide-ide para reformasi muslim dan mereka yang
mendukung.
3.
Para guru Intelektual Tradisi Pesantren
a)
Nawawai al-Bantani (1813-1897)
Dilahirkan pada
tahun 1230/1813 di banten Jawa Barat, dan dibesarkan di lingkungan keluarga
muslim. Nawawi dikenal sebagai sosok ulama. Dia meninggal pada tahun 1314/1897
di Makkah.[15] Sejak kanak-kanak dia adalah pelajar
yang aktif dan serius untuk menghafalkan Al-Qur’an. Di umur 15 tahun, Nawawi belajar di Makkah dan tinggal selama 3 tahun. Di
Hijaz ia di didik
oleh (Sayyid Ahmad bi Sayyid Abd Rahman an-Nawawi, Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan) di Makkah, dan (Syaikh Muhammad Khatib Sambas al-Hanbali) di
Madinah.[16] Selanjutanya Nawawi menimba ilmu ke Syria dan Mesir. Tahun
1833 Nawawi pulang ke Jawa Barat dan tahun 1855 ia kembali dan menetap di tanah
suci. Beberapa
situasi yang
mendorong keberangkatan Nawawi ke Makkah, karena
periode ini
diwarnai dengan intervensi pemerintahan kolonial Belanda terhadap kehidupan
sosio-religius masyarakat Jawa dan munculnya jati-diri dan penghargaan di kalangan
penduduk yang “tertindas”.
Banyak yang menyebutnya sebagai seorang “hamba ilmu pengetahuan”. Perjalanan
intelektualnya ke Hijaz, ia yakin di pusat transisi ilmu pengetahuan Islam
merupakan segalanya, karena dengan mengajar dan menulis banyak karya akan
menjadikan namanya tetap termasyhur dan senantiasa dikenang.
Status Nawawi
sebagai Imam al-Haromain, yang telah
mengajar di Makkah maupun Madinah sejak tahun 1860-an. Julukan ini bisa
ditemukan dalam halaman sampul karyanya yang popular, dua volume besar Tafsir
Marah Labid tentang tafsir Al-Qur’an. Kitab-kitab yang ia tulis dipahami oleh
para pelajar Indonesia dari beberapa tempat. Karya dan bukunya memandang bahwa Nawawi
sebagai seorang pahlawan Muslim Jawa pada abad XIX di Arab. Ketika dia mengajar
khususnya di Ma’had Nasyr al-Ma’arif ad-Diniyah di Masjidil Haram, Nawawi
dikenal sebagai guru yang simpatik, yang menyampaikan pelajarannya secara jelas
dan mendalam, dan komunikatif dengan murid-muridnya. Dan yang jelas Nawawai
merupakan guru yang “demokratis”. Nawawi memiliki pengaruh besar
terhadap murid-muridnya. Diantara mereka yang berasal dari Indonesia[17]: (1) K.H Hasyim Asy’ari, Tebuireng,
Jombang, Jawa Timur (Pendiri Nahdatul Ulama’), (2) K.H Khalil Bangkalan,
Madura, Jawa Timur, (3) K.H Ilyas, Serang Banten, Jawa Barat, (4) K.H Tubagus
Muhammad Asanawi, Ciparing, Jawa Barat.
Selain peran Nawawai sebagai seorang guru, ia juga
banyak mengarang sebuah karya yang cukup banyak, diantara karya yang telah ia
tulis paling tidak tentang bidang
ilmu
pengetahuan yaitu[18]:
1.
Bidang
Tafsir
Salah satu karya
Nawawi yang sangat dikagumi oleh ulama di Makkah dan Mesir adalah Tafsir
al-Munir li Ma’alim at-Tanzil, atau judul lain, Marah Labid an-Nawawi.
Karena prestasi di bidang tafsir, ulama menganugerahkan kepadanya gelar Sayyid ulama’ al-Hijaz.
Nawawi mewakili orang non-Arab yang menulis karya tafsirnya dalam bahasa Arab
yang sangat indah. Terdapat perbedaan antara Nawawi dan Muhammad Abduh yaitu:
NAWAWI
|
MUHAMMAD ABDUH
|
Dipengaruhi
oleh pemikir para ulama’ sunni abad pertengahan
|
Dipengaruhi
oleh para pemikir mu’tazilah
|
Lebih bersandar pada Al-Qur’an, hadis, pendapat para sahabat,
dan ulama Salaf terpercaya
|
Lebih mengembangkan kekuatan analitis
|
Ibarat Ghazali abad XIX dalam masyarakat Jawa
|
Ibarat Ibnu Rusyd yang lebih mengedepankan akal daripada
wahyu
|
Dalam
menafsiri hidayah, Abduh
menganggap hidayah sebagai anugerah
istimewa dari Tuhan dalam wujud keyakinan dan addin al-haqq (agama
yang benar).
Hidayah dan taufiq (anugerah tuhan) adalah sunnah
ar-Rabb (Ciptaan Tuhan) dan bersifat qadim di alam
|
Dalam menafsiri hidayah, Abduh menyebutnya hidayah al-‘aql ini mampu
mengoreksi kekeliruan inderawi dan tendensi-tendensi melalui akal
|
Pemikiran
Nawawi lebih interpretif terhadap “Pertanyaan
teo-sentris”
|
Pemikiran Abduh lebih mendetail dalam isu-isu “Antropologi”
|
Kontribusi utama
Nawawi dalam bidang tafsir adalah bahwa dia telah menulis sebuah tafsir ketika
dunia Islam tidak menunjukkan adanya tanda-tanda munculnya revitalisasi tradisi
klasik islam. Nawawi menulis tafsir dengan pengakuan bahwa dia mengerjakan
karya sederhana ini untuk menunjukakn kesalehan ulama salaf dalam memelihara
ilmu pengetahuan agar setiap orang dapat memperoleh manfaat dirinya.[19] Kekhasan karya Nawawi
terletak pada perhatian khususnya pada nilai pentingnya pengetahuan. Sebagai
contoh dalam menafsirkan induk Al-Qur’an (surat al-Fatihah) dia menjelaskan
bahwa surat ini memuat paling tidak empat bidang ilmu pengetahuan yaitu Pertama,
Tauhid, Keesaan Tuhan, atau Teologi. Kedua, hukum Islam dengan ibadah
sebagai bagian terpenting. Ketiga, kesempurnaan ilmu yang sejalan dengan
moralitas Islam. Keempat, sejauh atau kisah berbagai bangsa bangsa dari
pada masa lampau.[20] Selain itu segi penting lain dari kitab
tafsir dalam karya Nawawi adalah penekananya terhadap kesalehan dengan
menyampaikan ajaran akidah (keimanan) dan keyakinan kepada Tuhan dan
petunjuknya. Dan tersedia
cukup banyak dan komprehensif informasi tentang asbab an-nuzul dan
banyak yang tidak menyangka Nawawi mempunyai background kuat dalam sastra dan
tata bahasa Arab.
2.
Bidang
Sufisme dan Akhlak
Berkenaan dengan
tema-tema sufisme Nawawi di dalam karya-karyanya, ia tidak bisa melupakan
Syaikh Khatib Sambas (Ahmad Khatib
as-Sambasi) sebagai guru Nawawi. Hal ini adanya keterkaitan intelektual dan
spiritual antara guru dan murid dalam transmisi keislaman selalu menjadi
sesuatu yang sangat penting. Nawawi sebagai penganut sufisme Ghazali, dia
menyarankan kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu imam tasawuf, seperti Imam Sa’id bin Muhammad Abu al-Qasim
al-Junaid. Baginya ia adalah pangeran sufisme dalam arti teoretis maupun
praktis. Gaya hidup sufi yang “populer” berupa kesalehan dan kesederhanaan
tanpa menentang secara ekstrim kehidupan dunia merupakan ciri khas ajaran
sufisme. Hal itu lebih cocok dengan dua kehidupan dan dua dimensi yang saling
melengkapi: syari’at dan sufisme. [21]
Nawawi menulis
tentang sufisme bukannya tanpa misi, namum mempunyai tujuan tertentu yaitu
ditujukan bagi kemanfaatan umat muslim, bagi kehidupannya di akhiratnya kelak.
Dan melalui karya-karyanya dia mengharapkan bahwa kaum Muslim akan memperoleh
hikmah ilmu pengetahuan Islam dalam rangka mempelajari dan mengamalkan
kebajikan, sehingga senantiasa dibimbing oleh prinsip-prinsip Islam. Pada akhir
abad XIX di Jawa terlihat adanya kemajuan sufisme “populer”, khususnya Qadariyah-Naqsyabandiyah. Hal ini Nawawi
juga dianggap sebagai guru di Hijaz melalui ajaran-ajaran aktualnya dalam
masyarakat serta melalui karya-karyanya yaqng dipublikasikan paling tidak telah
memberikan konstribusi bagi pertumbuhan sufisme di kalangan masyarakat Jawa.[22]
Nawawi menggunakan
metafora mengenai syari’ah ibarat kapal, thariqah ibarat laut,
dan haqiqah ibarat permata. Yang disebut terakhir, permata, berada di dalam
laut, sementara kedalaman laut dapat dicapai dengan menggunakan kapal. Tidak
ada keraguan, perbaikan spiritualisme yang sering kali didukung dengan teladan
praktik-praktik kebaikan yang diambil dari salaf ash-shahih merupakan ciri
utama dari sufisme Nawawi. Nawawi juga membahas tentang individu sebagai bagian
dari masyarakat yang merupakan pusat interaksi sosial. Dengan
kata lain, bahwa antara haqq Allah dengan haqq al-adami
seharusnya memperoleh penghargaan yang sebanding. Sehingga dapat disimpulakan
bahwa Nawawi adalah seorang sufi yang teoritis maupu praktis. [23]
3.
Bidang
Hukum Islam
Tidak ada seseorang
yang menyangka bahwa Nawawi adalah orang ulama Syafi’i. Dia merupakan tokoh
penting penjaga ajaran Syafi’i di kalangan kaum Muslim Jawa. Dan Nawawi sangat
bersahaja dalam memperkenalkan karya-karyanya dengan menyatakan bahwa hasil
karyanya tidaklah berarti namun hanya merupakan kutipan dari beberapa penulis.
Bagi Nawawi menjadi seorang penganut Syafi’i bukanlah tanpa alasan. Madzhab
Syafi’i dikenal lebih terpercaya, Abu Hanifah lebih massive, sedangkan
Ahmad bin Hambali dipandang lebih saleh. Lebih dari itu Madzhab Syafi’i
bagaikan mutiara yang memancarkan dan menjulang dalam sebuah kehidupan yang
bahagia. Hal ini bertaqlid terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16):43 dan
surat Al-Anbiya’ (21):7.[24]
Menjadi muqallid
dan mujtahid merupakan satu diantara isu-isu yang sensitif dan
kontroversi pada abad XIX. Hal ini Nawawi meninggalkan sebuah prinsip yang amat
penting yakni menjadi muqallid yang terus melakukan kajian dan kritis.
Nawawi mempunyai pandangan yang berbeda tentang ziarah kubur. Nawawi tidak
menentang aktivitas ini, namun menganjurkan kaum Muslim untuk memberikan penghormatan
khusus ketika berada di makan Nabi. Hal ini tidak hanya terhadap Nabi, tetapi
juga terhadap para sahabat. Khususnya kepada Abu Bakar dan Umar, yang
dimakamkan di samping makam Nabi. Sejalan dengan ide itu, ide tentang tawasul
diperbolehkan. Yakni sebuah aktivitas menyebut Nama Nabi ketika seseorang
berdoa
di waktu sholat. Dengan demikian,
menurut Nawawi ziarah kubur dipandang sebagai bagian dari sunnah Nabi.[25]
Bagi Nawawi, fiqh
adalah jenis ilmu pengetahuan Islam yang sangat signifikan, karena tak seorang
pun bisa berkomunikasi dengan Tuhan dalam ibadah ritual jika ilmu ini tidak
dipelajari dengan sungguh-sungguh. Nawawi menghasilkan beberapa karya tentang
fiqh,
salah satunya Syarh ‘Uqud
al-Lujain yang merupakan karya yang paling populer di kalangan santri,
karena berkaitan konsep-konsep dasar tentang kehidupan sehari-hari, ynag
berkaitan tentang kehidupan suami istri. Selain itu juga terdapat kitab-kitab lain yang cukup penting
adalah Syarh Sullam al-Munajah, Nihayah az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in,
Tausih ‘ala Fath al-Qarib, dan Sullam an-Taufiq.[26] Kitab-kitab ini dipandang sebagai karya-karya standar ulama
syafi’i yang memuat permasalahan praktis dan perilaku keseharian. Sehingga ini menjadi sebuah
alasan utama mengapa fiqh menjadi pelajaran yang populer di kalangan santri
pada abad XIX dan selanjutnya.
4.
Bidang
Tauhid
16201454731620145473[27]
Salah satu tema
pokok kitab-kitab Nawawi adalah kemutlakan Tuhan. Dan Nawawi merupakan
representasi ulama jawa abad XIX yang berupaya menyegarkan kembali ajaran Islam
abad pertengahan di bidang teologi dan untuk meninggalkan kemutlakan Allah melalui
konsep tawakkal bi Allah. Sehingga Nawawi dengan menganut ide
Asy’arisme-nya patuit dihargai karena filosofi penghambaan kepada Tuhan mereka
secara religius independen. Dan Nawawi juga melarang kaum Muslim bekerja sama
dengan kaum kolonial dan menghukuminya sebagai berbuatan yang haram.[28]
b)
Mahfuz at-Tirmisi (1338-1919)
Mahfud dilahirkan di Tremas, Pacitan Jawa Timur pada
tanggal 12 Jumadil Ula 1258/1868. Ketika ayahnya berada di Makkah. Ibu dan
pamannya mahfuz yang memperkenalkan nilai-nilai dan praktik keagamaan kepadanya.
Dan di Jawa ia belajar membaca Al-Qur’an serta ilmu agama tingkat dasar. Mahfuz
mampu menghafal Al-Qur’an sebelum dia dewasa. Pada tahun 1291/1874, Saat ia
berumur 6 tahun ayahnya membawanya ke Makkah. Disana ayahnya memperkenalkan
beberapa kitab penting kepadanya. Mahfuz memberi sebutan ayahnya sebagai murabbi’
waruhi (pendidikanku dan jiwaku). Pada akhir tahun 1870-an, ia dan ayahnya kembali
ke Jawa dan mengirimkannya kepada seorang ‘alim Jawa kenamaan, Kiai Saleh Darat
untuk belajar di pesantrennya Semarang, Jawa Tengah. Dan
ayahnya meninggal dunia di Makkah dan dimakamkan di Ma’la di dekat makam
khadijah.[29]
Reputasi jawa Mahfud dipandang lebih besar daripada
Nawawi al-Bantani, hal ini agak aneh karena buku-bukunya Nawawi lebih popular
dan ada di mana-mana. Karya-karya Mahfud lebih memiliki daya tarik di kalangan
mayoritas santri dikarenakan mereka mengkonsentrasikan diri pada bidang ‘ilm
al-Hadits, yang menjadi perhatian santri-santri pilihan saja. Sedangkan
karya Nawawi dibaca oleh semua orang. Hal ini alasan mengapa Mahfuz lebih
terkenal, karena pesantren di Tremas berusia lebih tua dan lebih prestisius
daripada pesantren Nawawi di Banten. Dan faktor lain juga memberikan kontribusi
bagi kebesaran reputasinya, yakni spesialisasinya dalam ilmu pengetahuan yang
jarang dikuasai oleh pakar-pakar pada masanya. Mahfuz dipandang sebagai
al-Bukhari abad XIX, karena Al-Bukhari merupakan model favorit bagi Mahfuz
bahwa dia merupakan the last link
al-Bukhari pada akhir abad XIX adalah sangat dimungkinkn karena al-Bukhari
adalan imaginary teacher-nya. Sebagaiamana
di akhir isnad (rangkaian penyampaian
hadits) dimana dia adalah salah satu seorang musnid terkemuka, Mahfuz
memperoleh ijazah yang merujuk kepada kolektor hadits terkemuka imam
al-Bukhari. Ijazah ini turun dari al-Bukhari hingga 23 generasi yang kemudian
sampai ke tangan mahfuz.
Mahfuz adalah seorang penulis yang sangat produktif.
Kitab-kitab yang berhasil ditemukan oleh keturunannya salah satunya adalah:
1.
As-Siqayah al-Maradhiyah fi
Asma al-Kutub al-Fiqiyah asy-Syafi’iyah 3 bagian (kecil);
2.
Al Minhah al-Khairiyah fi Arba’in
Haditsan min Ahadits Khair al-Bariyah 2 Bagian;
3.
Al-Khal’ah al-Fikriyah bi Syarh al-Minhah al-Khairiyah 13 bagian.
4.
Muhibah Dzi al-Fadhl ala Syarh Muqaddimah Bafadhal 4 Jilid besar;
5.
Kifayah al-Mustafis fima Ala min Asnid 1 bagian;
6.
Al-Fawa’id at-Tirmisiyah fi Asnaid al-Qira’at
al-Asy’ariyah 1 bagian;
7.
Al-Budur al-Munir fi Qiro’ah al-Imam Ibn al-Katsir 6 bagian;
8.
Tanwir ash-Shadr fi Qira’ah al-Imam Abi Amr 8 jilid;
Dan banyak lagi karya-karya Mahfuz yang telah
ditulisnya. Dan keseluruhan karya Mahfuz berbahasa Arab. Kitabnya Muhibah
Dzi al-Fadhi ala Syarh Muqaddimah Bafadhal tentang fiqih dalam 4 jilid
dengan 2339 halaman merupakan kitab yang paling popular. Kitab ini merupakan
karya orisinil yang memberikan suatu komentar pokok atas karya fiqih Ibnu
Hajar. Selain itu kitab lainnya juga favorit dikalangan santri dan internasional.
Guru-guru penting
mahfuz selama ia belajar yang pertama adalah K.H Abd Allah ayah Mahfuz, Syaikh
Saleh Darat atau Muhammad Saleh bin Umar as-Samarani, Muhammad al-Munsyawi, dan
yang terakhir yang tak kalah penting adalah Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad
Shata, ia merupakan guru paling berpengaruh yang telah membentuk kepribadian
dana masa depan mahfuz.[31] Mahfuz lebih memilih ilmu hadits daripada
ilmu lainnya, karena dia menganggap bahwa para ahli dari berbagai disiplin yang
memandang bahwa disiplin ilmunya-lah yang paling baik. Para mufassir memandang
bahwa supremasi ilmu Al-Qur’an berada pada posisi sentral, dimana semua
cabang ilmu merujuk kepadanya, dan Mahfuz berkesimpulan bahwa “ilm al atsar” atau ilmu hadits
merupakan ilmu secara mutlak paling penting dari semuanya.
Jaringan Mahfuz
dengan ulama pesantren sedemikian signifikan, sehingga membawanya pada posisi
tertinggi dalam tradisi pesantren. Hal ini terdapat pertimbangan seperti halnya
posisinya sebagai seorang guru hadis kenamaa yang berbeda dengan ulama
semasanya dan watak tranmisi hadis yang sejalan dengan tradisi pesantren. Dan
telah diakui bahwa kepribadian Mahfuz dan kualitasnya dalam mengajar dan
menulis sangatlah luas, sehingga tidak bisa diremehkan.
4.
Para Ahli Strategi Pesantren
a)
Khalil Bangkalan (1819-1925)
Muhammad Khalil
lahir di Bangkalan, Madura pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir 1235 H. Dan
meninggal pada tanggal 29 Ramadhan 1343 H. Ayahnya berdo’a kelak dia bisa
menjadi wali kenamaan seperti halnya Sunan Gunung Jati. Karena terdapat garis
keturunan dari sunan Gunung jati, dan di sisi lain adanya tendensi umum di
dalam komunitas pesantren bahwa walisongo merupakan model bagi mereka. Dengan
semangat belajar, khalil di kenal sebagai seorang pakar tata bahasa Arab dan juga seorang wali. Keahlian
dalam bidang tata bahasa Arab menarik para santri lain yang antusias untuk
menguasai ilmu tersebut pada masanya. Pada dasarnya seorang santri sangatlah
diperlukan dalam penguasaan dalam ilmu nahwu, sebab dengan ilmu mereka akan
mampu membaca dan memahami kitab kuning secara cepat.[32]
Pada tahun 1860 Khalil menikmati atmosfer akademik di
Mekkah untuk pertama kalinya. Proses
belajar dilakukan di sebuah majelis terbuka dan halaqoh
di masjidil Haram.
Masjid ini digunakan untuk ibadah serta keperluan tranmisi intektual.[33] Dan
salah satu hal signifikan yang bisa dicatat bahwa Khalil lebih tertarik pada
sufi, tata bahasa, dan fikih dibawah guru utamanya yaitu Nawawi al-Bantani dan Syekh
Abd.al-Karim. Dan setelah kembali dari mekkah, Khalil menjadi pengasuh
Pesantren Kademangan di Bangkalan Madura. Dan Khalil merupakan kiai pesantren
yang karismatik pada akhir XIX dan seperempat pertama abad XX. Dan di Jawa, dia
memiliki reputasi sebagai guru tarekat.[34]
Pesantren-pesantren
dan NU memiliki kesamaan latar belakang historis. NU tidak akan pernah lahir, apabila
pendiri NU khususnya Hasyim Asy’ari mendapatkan persetujuan dari Khalil
mendirikan organisasi baru. Hingga Hasyim melakukan istikharah
berkali-kali untuk mengetahui apakah mendirikan NU sesuai untuk masa mendatang.
Setelah istikharah tidak membuahkan hasil dan Hasyim merasa ragu,
sehingga Hasyim meminta pendapat kepada gurunya, Khalil, yang diyakini bisa mengetahui apa yang
tidak bisa dilihat orang lain di masa depan melalui pengetahuan spiritualnya
atau dalam bahasa jawa disebut dengan weruh sak durunge winara
(mengetahui sesuatu yang belum terjadi). Dan ia mengutus As’ad untuk memberikan
tongkat dan tasbih serta amalan-amalan kepada Hasyim. Dan Hasyim menganggap
pesan terakhir ini sebagai persetujuan dan dukungan penuh untuk mendirikan
organisasi ulama ini. Namun Khalil tidak berkesempatan untuk menyaksikan kelahiran
organisasi ini, yang didirikan pada tahun 1926. Hal ini apabila organisasi
tersebut tidak bertentangan dengan ajaran tauhid, praktik-praktik tersebut
tidak perlu dihilangkan, karena bagi khalil dan para santri, tradisi lebih
memberikan manfaat dari pada bahaya atau kerugian. Solidaritas, kebersamaan,
serta saling menghormati adalah beberapa nilai yang diterapkan di dalam
masyarakat.
Khalil merupakan
seorang yang faqih yang mendalami dan mengajarkan berbagai kitab kuning dalam
bidang fikih. Hal ini ditunjukkan adanya dua karya yang cukup signifikan
mengenai Fikih nikah, tata bahasa, dan disamping itu sufisme melalui
praktek-praktek nyata dalam keseharian. Khalil mengkhususkan menulis fikih
tentang pernikahan dan bukan pada masalah-masalah lain. Dan hal ini Khalil
layak untuk mendapatkan penghargaan, karena dia telah menjadi perintis yang
telah membuka satu jenis pendekatan baru yaitu pendekatan tematik.
Karyanya tentang pernikahan
sangat populer dalam komunitas dan hingga sekarang masih digunakan dalam acara
upacara pernikahan. Dan hal ini kepribadiannya Khalil lebih kuat pengaruhnya
daripada ajaran-ajarannya mengenai tulisan dan karyanya tentang penampilan
pidato yang lebih berkesan di kalangan santri. Terlihat dalam ajarannya yaitu unzur ma qala wa la tanzur man qala
(lihatlah apa yang disampaikan seseorang, dan janganlah melihat siapa yang
menyampaikan).
Sebagai seorang
guru yang unik Khalil melakukan cara pendekatan terhadap murid-muridnya dengan
mempengaruhi pengalaman pribadinya yang unik, dengan ditempa dari berbagai
cerita, seperti halnya tradisi pesantren yang tidak pernah lepas dari
cerita-cerita. Hal ini didukung bahwa hidup dalam kesederhanaan menjadi ciri
lain dari pesantren salaf dan selalu ditekankan oleh komunitas pesantren. Dan
tipe ajarannya dicirikan dengan informalitas proses pendidikan sebagaimana
pengalamannya ketika dia menjadi seorang santri yang merupakan ciri esensial
pendidikan pesantren itu sendiri.
b)
K.H.R Asnawi Kudus (1861-1950)
K.H.R Asnawi dilahirkan di Damaran, pada tahun 1281H/1864M
dan meninggal pada tahun 1959. Da memiliki julukan K.H.R atau Kiai Haji Raden,
dimana yang terkhir ini menunjukkan garis keturunan keluarga aristokrat. Dia
adalah keturunan ke-14 Sunan Kudus dari garis H.Mutamakin,
yang merupakan seorang wali terkenal
yang hidup pada masa Sultan Agung Mataram pada paruh pertama abad XVII.[35] Asnawi memperoleh
pendidikan awalnya dari sang ayah, H. Abdullah Husnin. Dan Al-Qur’an merupakan pelajaran utama yang dia
pelajari dari ayahnya. Ketika berumur 15 tahun, dia dikirim ke sebuah pesantren
Tulungagung, Jawa Timur. Dan sebelum tinggal di Mekkah dia menemui gurunya yang
lain, yaitu Kiai Haji Irsyad, di Mayong Jepara. Dan dia ingin mengasingkan diri
ke Gunung Patiayam untuk bertapa. Setelah melalakukan Ibadah haji tahun 1889
dan 1894, dan
tinggal selama 22 tahun di Mekkah.[36] Dan Asnawi dianggap pelajar
jawa yang kritis da sukses, dan tidak diragukan lagi bahwa hubungan guru-murid
dalam tradisi pesantren berjalan sangat kuat dan tidak pernah berakhir. Sehingg
puisi Asnawi dalam do’a an-nikah secara antusias digunakan oleh murid-muridnya.
Dan do’a Asnawi yang populer dibacakan sebagai penutup ritual yang terdiri dari
32 baris puisi yang diakhiri dengan ma.
Asnawi juga termasuk pendiri NU yang jarang diketahui oleh
anggota NU itu sendiri, dan bahkan ia aktif dalam menghadiri muktamar NU di
berbagai daerah sebanyak puluh kali. Hal ini bagi para santri kudus, Asnawi
dikenang sebagai peletak dasar sunnisme melawan ide-ide modernisme. Namun
Asnawi tidak meninggalkan banyak karya, namun beberapa kitabnya sangat
signifikan dan populer di kalangan pelajar di Jawa, khususnya para pemula.
Karyanya meliputi fashalatan (1954), jawab soalipun Mu’taqad yang
lebih populer dengan nama Mu’taqad Seked, Syari’at Islam tentang fikih
dan terjemahan Jurumiyah tentang tata bahasa Arab. Ciri-ciri tulisannya adalah
menggunakan bahasa lokal dengan persuasi dan otoritas.[37]
Setelah diperkaya pengalaman belajar dan mengajar di jawa
maupun Hijaz, Asnawi memutuskan untuk menjadi seorang Da’i. Dia melakukan
kegiatan dakwah islamiah, baik di dalam maupun di luar kota kudus. Salah
satunya adalah melakukan sholat subuh di berbagai masjid di Kudus. Hal ini
merupakan cara Asnawi menganjurkan shalat berjama’ah. Asnawi juga memandang
shalat tidak saja lebih religius, tetapi juga memiliki arti penting bagi
kemaslahatan sosial dan ekonomi. Bahwa sholat jama’ah sendiri merupakan
intergrasi antara kesalehan dengan komunitas
yang taat hukum. Dan selain itu Asnawi juga menekankan arti penting
ibadah formal sebagai sarana efektif menjalin komunikasi dengan sang pencipta.
Pada abad XIX muncul para guru intelektual tradisi
pesantren seperti Nawawi dan At-Tirmisi, yang memperkenalkan dan mempopulerkan
pemikiran-pemikiran ulama Sunni masa pertengahan. Dan pada abad XX, dalam dunia
pesantren lahir para pemimpin aktual seperti Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah,
dan Asnawi. Dakwah Asnawi dapat dikelompokkan dalam da’wah bi al-maqal wa bi
al-hal (dakwah dengan perkataan dan perbuatan). Dengan gaya berbicara
secara langsung, korektif, keras dan persuasif. Asnawi juga seorang kiai yang “fikih minded” idenya berubah waktu ke
waktu dan lebih menyesuaikan diri dengan perubahan.
Masyarakat kudus dan sekitarnya sangat patuh dan taat
terhadap nasehat asnawi dalam setiap dakwahnya. Dan yang berhasil lagi adalah
upayanya mengembangkan dua kelompok majelis ta’lim atau pengajuan yang cukup
popular
yaitu pengajian pitulasan dan pengajian sanganan. Asnawi
merupakan seorang seniman yang menyusun banyak puisi berbahasa Arab dan Jawa.
Dan untuk melembagakan dakwahnya Asnawi mendirikan pesantren di Bendan Kudus
pada tahun 1927 dan madrasah Qudsiyah Kudus pada tahun 1919 dan keduanya masih
eksis hingga saat ini. Karismatik Asnawi semakin kuat setelah ia kembali dari
Mekkah, dengan bekal ilmu-ilmu keagamaan yang semakin dalam, dan pengalaman
berorganisasi yang tidak di dapat oleh para kiai lainnya. Dan menurut putranya
bahwa Asnawi menyembunyikan beberapa do’a rahasia yang hanya boleh digunakan
oleh beberapa orang tertentu dengan sebuah ijazah. Dari buku Asnawi dijelaskan
bahwa ijazah memainkan peran yang sangat penting dalam metode pengajaran
Asnawi. Setidaknya terdapat dua jenis ijazah yaitu tulisan dan lisan.
Dalam konteks ini dua hal berpadu tradisi intelektual pesantren, yakni hafalan
dan ijazah. Bagi Asnawi, dakwah Islamiyah yang juga merupakan ajaran
islam menjadi suatu misi sekaligus hobi. Asnawi mendasarkan dakwahnya sebagai
dasar atas prinsip fikih yakni al-Mashlahah al-mursalah, kemanfaatan
bagi masyarakat adalah lebih diutamakan.
c)
Hasyim Asyari (1871-1947)
Lahir pada
bulan Februari 1287 H/11871 M di Gedang Jombang, Jawa Timur. Hasyim
menghabiskan sebagaia masa kecilnya di lingkungan santri. Ayahmya, Kiai Asy’ari
berasal dari Demak, Jawa Tengah, memiliki pesantren yang besar. Hasyim
dilahirkan di Pesantren Gedang selama 14 bulan hasyim berada di dalam kandungan
ibunya. Bakat kepemimpinan yang dimilikinya terlihat ketika ia sebagai penengah
ketika ia bermain dengan teman-temannya. Hasyim mengenayam pendidikan pesantren
sejak usia dini. Di usia 15 tahun, ayahnya memberikan dasar-dasar islam,
khusunya membaca dan menghafal Al-Qur’an. Dan dia suka mengembara ke berbagai
pesantren. Ahkhirnya pada tahun 1891 Hasyim tiba di pesantren Siwalan Pandji
Sidoharjo yang diasuh oleh Kiai Ya’qub Siwalan. Sang kiai menawarkan anaknya
khadijah kepada Hasyim, dan kemudian dinikahi tahun 1892.[38] Pada tahun
yang sama, impian Hasyim untuk pergi ke Mekkah, baik untuk menunaikan ibadah
haji maupun belajar, menjadi kenyataan. Dan pada tahun 1893 dia kembali bersama adiknya. Di
Mekkah Hasyim belajar fikih, tauhid, tafsir, tasawuf, dan ilm alah. Hal ini dia
lebih tertarik pada ilmu hadis yaitu hadis bukhari dan muslim. Latar belakang
pendidikan pesantren Hasyim yang cukup kuat menjadikannya mudah untuk
berpartisipasi dalam aktivitas intelektual di Hijaz.
Sepulang dari
Mekkah pada tahun 1899, Hasyim memutuskan untuk membangun sebuah cabang
pesantren baru yaitu di daerah tebuireng pada tahun 1899. Hal ini keputusan
Hasyim untuk mendirikan pesantren baru ini bukanlah tanpa maksud. Dia mempunyai
tujuan untuk menyampaikan dan mengamalkan ilmu yang telah diperoleh sejauh ini,
dan menggunakan pesantren sebagai sebuah agent sociael of change.
Berdasarkan tujuannya ini dia dijuluki sebagai seorang “ahli strategi” dengan
maksud dia berkeinginan mengubah struktur masyarakat. Dia yakin bahwa kebiasaan
pesantren merupakan sebuah cerminan budaya islam dengan continuity and change-nya
yang brasal dari intelektual dan kultural kaum muslim Jawa masa awal, khususnya
walisongo. Hasyim adalah seorang tokoh sentral dalam komunitas pesantren, dan
Hasyim bukan hanya seorang ahli dalam hal ide, namun juga cakap dalam
melaksanakannya, dengan cara yang sistematis. Dengan menunjukkan kepada
masyarakat model kehidupan nabi yang harus dicontoh oleh setiap muslim dengan
cara memberikan nasehat dan bimbingan daripada mengambil jalan kekerasan, maka
semua itu ditiru oleh Hasyim sebagai seorang pendidik yang memahami betul
budaya dan psikologi komunitasnya. Karena kemajuan besar yang diciptakan oleh
pesantren Hasyim, Pemerintahan Belanda akhirnya memberikan penghargaan
kepadanya sebuah lencana emas dan perunggu pada tahum 1937.[39]
Keberadaan
tradisi sufi ditunjukkan dengan berdirinya Sunni di Jawa munculnya gerekan
Wahabi. Sejalan dengan perkembangan ini, abad XIX di Jawa merupakan sebuah
periode transisi dan dialog kritis antara kaum tradisional yang diwakili oleh
kelompok sufi dan santri muslim pada umumnya dan kaum modernis. Hasyim adalah
kiai khas di jawa yang berupaya melakukan sintesis tradisi local dengan
elemen-elemen islam, namun dia memandang bahwa prinsip-prinsip Islam tidaklah
bertentangan dengan praktik-praktik local sepanjang perpaduannya memiliki
landasan dan tujuan religious. Kemunculan NU sebagaimana sebuah organisasi
religious dan sosial harus dilihat sebagai proses panjang yang dipacu oleh
ulama jawa, dan tidak dipisahkan dari dimensi pemikiran dan perjuangan
sebagaimana tersebut di atas. Kelahirannya di tangan Asy’ari boleh jadi
didasarkan atas risistensi ideologi, yakni kepedulian yang mendalam dari
komunitas pesantren terhadap tantangan sosioreligius dan ide-ide politik pada
level mikro maupun makro. Pertarungan religious ini menjadi tantangan bagi
ulama Jawa dan memberikan inspirasi kepada mereka untuk menyatukan kekuatan
mereka dengan melembagakannya dalam sebuah organisasi formal yang dinamai NU.
Organisasi ini di bawah kepemimpinan Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah.
Latar belakang ideologis kelahiran NU tetap menjadi titik tekan, yakni untuk
mempertahankan serta melindungi Sunnisme melawan setiap serangan. Sebagaimana
Hasyim secara historis NU tetap konsisten melawan kaum colonial. NU merupakan
Sebuah pesantren besar dan manisfestasi dari komunitas pesantren yang
terorganisir, karena organisasi ini bermaksud sosioreligius maupun politik
komunitas pesantren. Bahwa kelahiran NU di pesantren Tebuireng dengan secara
aklamasi memilih Hasyim sebagai ra’is
am pertama NU sejak tahun 1926 hingga wafat tahun 1947, merupakan indikasi
lain hubungan mutual ini.
Dalam komunitas pesantren, sunnisme atau Ahl
usunnah wal jama’ah lebih popular dengan nama Aswaja dalam komunitas
pesantren. Konsep Aswaja ini bisa dilihat dalam anggaran dasar pertama NU dan
peraturan-peraturan yang disusun pada tahun 1930-an.[40] Sejak aswaja menjadi ideologi dan tujuan
dari perkumpulan ini, bisa dikatakan bahwa NU pada dasarnya mendukung dan
melembagakan watak dasar santri Jawa, yang mengacu kepada pemikiran Syafi’I
Asy’Ari dan Ghazali. Jenis Aswaja ini dipahami oleh NU menekankan arti penting
tasamuh (toleransi). Prinsip-primsip hasyim tentang tarekat benar-benar telah
membuka perselisihan baru di kalangan pemimpin tarekat. Hasyim sebagai seorang
ahli strategi dan sebagai pemimpin “jalan tengah” menjembatani kedua kubu.[41] Fatwa
Hasyim ini diyakini telah mengilhami para santri dalam meningkatkan perlawanan
mereka terhadap kaum kolonial, setelah pasukan sekutu berhasil memaksa jepang
keluar dari jawa pada tahun 1945. Dan disimpulkan bahwa Hasyim merupakan orang
yang paling berpengaruh dalam komunitas pesantren dikarenakan oleh kondisi
tertentu. Dengan begitu bahwa “ilmu pengetauan adalah kekuatan” dimana sudah dipakai sebagai pendekatan untuk
memahami masyarakat secara lebih baik.[42]
Karena pertalian simbolis, terkadang mereka sulit membedakan antara NU dan
pesantren karena keduanya didirikan oleh orang yang sama. Namun pandangan ini bahwa NU merupakan sebuah pesantren
besar yang sangat tepat. Bahwa NU maupun pesantren dirancang untuk melembagakan
ide-ide dia dan santrinya dalam arti luas.
F.
Kesimpulan
Upaya untuk menggambarkan
lima figure utama komunitas pesantren dengan memperkenalkan riwayat hidup,
termasuk latar belakang historis, peran sosio-religius dalam masyarakat, dan
visi-visinya dengan pemikiran tematik telah dibahas secara instensif. Sejalan
dengan apa yang ditunjukkan pada abad XV hingga XVI di jawa oleh Walisongo,
yang dengan fleksibel telah mencampur elemen-elemen local maupun asing namun
masih tetap mempertahankan prinsip-prinsip Islam. Dan pendekatan dan kearifan
walisongo pada masa berikutnya diikutkan dalam kelembagakan dalam inti sari
tradisi pesantren dengan rangkaian kesatuan historis dan ideologis. Pesantren
sebagai lembaga pendidikan menjadi sngat potensial dan memiliki arti yang
sangat istimewa.
Dengan landasan pengamatan
yang serius terhadap sosok individual yang telah membentuk tradisi pesantren,
maka karakterisstik dan tipologi dari beberapa figure dapat disimpulkan bahwa:
1.
Ulama encyclopedic dan multidisipliner yang mengkonsentrasikan diri daalam dunia ilmu,
belajar, mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab yaitu Nawawi
al-Bantani;
2.
Ahli dengan
satu spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan islam. Karena keahlian mereka
dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan, pesantren mereka terkadang dinamai
sesuai dengan spesialisasi mereka yaitu Mahfuz at-Tarmisi yang dikenal sebagai ‘allamah, al-muhaddits, serta al-musnid
dan terkadang dipandang sebagai Al-bukhari abad XIX;
3.
Kiai
karismatik yang memperoleh karismatinya ilmu pengetahuan keagamaan khususnya
dari sufismnya, yaitu Khalil Bangkalan. Menarik untuk dicermati bahwa dia
bukanlah seorang guru dari kelompok tarekat mana pun di Jawa. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam tradisi pesantren guru spiritual yang paling dihormati
tidaklah ditentukan oleh status atau kesuksesan dalam organisasi tarekat;
4.
Kiai Keliling,
yang perhatiannya dan keterlibatannya mereka terbesar adalah berinteraksi dan
keterlibatan dengan public dan menyampaikan ilmunya bersamaan dengan misi
sunnisme atau aswaja melalui bahasa retorikal yang efektif. Asnawi Kudus
termasuk kategori ini dan menempatkan kehidupan masyarakat jawa dengan
mengkokohkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang berpengaruh dikalangan
santri;
5.
“Kiai
pergerakan” seperti Hasyim Asy’ari, pemimpin yang paling menonjol karena
keunikan posisinya dengan peran san skill kepemimpinannya yang luar biasa, baik
dalam masyarakat maupun organisasi yang didirikannya serta kedalaman ilmu
pengetahuan keagamaan. Dan beliau adalah orang yang paling disegani dalam
komunitas pesantren.
G.
Daftar Pustaka
Mas’ud, Abdurrahman.
Dari haramain ke nusantara: Jejak
Intelektual Arsitektur Pesantren. Jakarta: Kencana. 2006.
Mas’ud, Abdurrahman. Intelektual Pesantren, Perhelatan
Agama dan Tradisi.
Yogyakarta: Lkis.
2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar