A. LATAR BELAKANG
A
Perpustakaan
perguruan tinggi merupakan sebuah perpustakaan yang berada di lingkungan
perguruan tinggi dengan tujuan utama membantu perguruan tinggi tersebut
mencapai tujuannya[1].
Adapun tujuannya tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan,
penelitian, dan pengabdian masyarakat). Karenanya perpustakaan harus mampu
memenuhi segala kebutuhan informasi civitas akademika. Perpustakaan dapat
memenuhi kebutuhan informasinya dengan mengoleksi bahan pustaka yang sesuai dengan
berbagai bentuk.
Perpustakaan
perguruan tinggi juga sering dimaknai sebagai pusat penelitian, karena
menyediakan informasi yang mendukung dalam proses penelitian. Sehingga dengan
adanya penelitian akan menghasilkan sebuah pengetahuan baru yang biasanya
tertuang dalam sebuah laporan penelitian, skripsi, tesis, maupun desertasi. Karya
ini lebih kita kenal dengan sebutan karya ilmiah atau karya intelektual. Perpustakaan
diharuskan menghimpun hasil penelitian tersebut untuk nantinya dapat dijadikan
acuan penelitian selanjutnya. Selain itu perpustakaan diharapkan juga dapat melakukan
pemutakhiran koleksi yang dimilikinnya untuk mendukung dan mengembangkan
kegiatan penelitian.
Karya
ilmiah yang telah dihasilkan apabila tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan
timbulnya permasalahan. Adapun permasalahan yang timbul adalah terkait dengan
penyebarannya kepada pengguna perpustakaan. Terkadang pengguna tidak mengetahui
bawasannya perpustakaan mengoleksi karya ilmiah hasil penelitian yang dilakukan
oleh civitas akademikanya. Adapun usaha untuk menghimpun, mengelola,
melesatarikan, dan menyebarluaskan karya intelektual sebuah perguruan tinggi
dengan bantuan teknologi adalah melalui institutional
repository. Institutional Repository
atau lebih dikenal dengan IR ini akan memudahkan pengguna perpustakaan untuk
mengetahui karya ilmiah yang dimiliki sebuah perguruan tinggi. Ketika sebuah
perpustakaan memustuskan untuk memiliki IR, maka timbullah pekerjaan tambahan
bagi perpustakaan untuk melakukan evaluasi terhadap IR tersebut. Evaluasi ini
bertujuan mengatahui seberapa efisien dan kepuasn pengguna perpustakaan dalam
mengakses IR tersebut. Adapun untuk mengevaluasinya dapat menggunakan
pendekatan recall dam precision.
bB. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan rumusan masalah di atas, rumusan masalah
pada makalah ini, yaitu bagaimana tingkat efektifitas IR Perpustakaan UIN Sunan
Kalijaga?
C. PEMBAHASAN
1. Evaluasi
Salah satu isu yang menarik saat di kalangan
pengamat, pendukung, dan pengelola perpustakaan digital adalah isu evaluasi.
Sebagaimana di masa sebelum digital ketika perpustakaan masih didominasi
koleksi tercetak, maka kini setiap upaya menyediaan jasa perpustakaan digital
memerlukan justifikasi (pembenaran) yang cukup. Dari segi evaluasi, ada
perbedaan antara perpustakaan non-digital dan digital, yang menyebabkan perhatian
khusus. Saracevic merumuskan sebagai[2]:
a.
Complexity,
perkembangan teknologi informasi yang sangat dinamis dan cepat menyebabkan
perpustakaan digital tergolong salah satu institusi yang paling rumit, dan ini
menyebabkan evaluasi sulit dilakukan
b.
Pre-maturity,
bagaimanapun, fenomena perpusatkaan digital baru benar-benar hadir di akhir
1990-an, dan setelah 10 tahun baru dianggap dalam tahap perkembangan, sehingga
masih ada beberapa aspek yang cukup stabil untuk dievaluasi
c.
Interest levels,
sebelum benar-benar stabil dianggap stabil, biasanya banyak pihak yang lebih
tertarik pada pengembangan, dan kurang pada upaya evaluasi
d.
Funding,
belum ada cukup dana yang banyak yang tersedia untuk evaluasi secara menyeluruh
e.
Culture,
kegiatan evaluasi belum populer menakala semua orang sedang lebih tertarik pada
eksperimen dan pengembangan landasan kerja baru
f.
Cynicism,
belum banyak orang yang peduli pada kinerja perpustakaan digital terutama karena juga banyak yang belum jelas memahami
apa yang diukur?.
Tradisi evaluasi terhadap kinerja perpustakaan yang
sudah lama dijelaskan para pustakawan, seringkali dianggap tidak memadai untuk
situasi digital. Belakangan ini semakin banyak upaya menyusun kerangka pikir
baru untuk memodifikasi sistem evaluasi perpustakaan agar lebih cocok bagi
keadaan masa kini. Namun sebagaian dikatakan oleh Berton, evaluasi terdapat
perpustakaan digital tentu tidak dapat secara sertamerta dilepaskan dari apa
yang sudah selama ini dijalankan. Pada dasarnya perpustakaan merupakan fenomena
lanjutan dari perpustakaan non-digital karena dibangun di atas landasan
sosial-budaya maupun teknologi yang sama[3].
Dalam mengadakan evaluasi terdapat dua langkah,
yaitu mengukur dan menilai. Di dalam istilah asingnya, pengukuran adalah measurement, sedangkan penilaian adalah evaluation.
Dari kata evaluation inilah diperoleh kata Indonesia evaluasi yang
berarti menilai (tetapi dilakukan dengan mengukur terlebih dahulu). Di buku ini
ketiga istilah tersebut digunakan bergantian tanpa mengubah makna[4].
Sedangkan menurut Salton seperti yang dikutip oleh Sanusi[5]
evaluasi terhadap sarana temu kembali juga dapat dilakuakan dengan mengukur
tingkat kepuasan pengguna terhadap hasil pencarian dokumen yang diinginkan.
Adapun indikatornya bisa dilihat dari efisiensi waktu, ketetapan, akumulasi
pencarian, dan kemudahan penggunaan.
2. Sistem Temu Kembali Informasi
Sistem
informasi pada saat ini telah banyak dibangun oleh para kelompok analisis dan
programmer, namun pada akhirnya ditinggalkan oleh para pemakainya[6].
Hal ini terjadi karena sistem yang dibuat lebih berorientasi pada pembuatnya
daripada ke pemakainya. Sehingga, ketika sistem itu digunakan oleh pengguna
akan berakibat[7]:
a. Sistem
yang dipakai sulit untuk digunakan atau kurang user friendly bagi pemakai
b. Sistem
kurang interaktif dan kurang memberi rasa nyaman bagi pemakai, karena merasa
tidak paham terhadap penjelasan yang disediakan
c. Sistem
sulit dipahami karena tampilan atau interface
dari sistem menu dan tata letak kurang memperhatikan kebiasaan perilaku pemakai
d. Sistem
dirasa memaksa bagi pemakai dalam mengikuti prosedur yang dibangun, sehingga
sistem terasa kaku dan kurang dinamis.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik sebuah
kesimpulan, bawasannya sebuah sistem yang dibangun baik itu diperpustakaan
maupun di instansi lainnya sebaiknya user
oriented.
Sistem
sendiri merupakan sekelompok elemen-elemen yang saling berhubungan dan
bertanggung jawab melakukan proses input
sehingga menghasilkan output[8].
Paryati dan Yosef juga mengemukakan beberapa definisi sistem menurut pakar,
yaitu[9]:
a. Ludwig
Von Bartalanfy; sistem merupakan seperangkat unsur yang saling terikat dalam suatu antar relasi diantara
unsur-unsur tersebut dengan lingkungan
b. Anatol Raporot; sistem adalah suatu kumpulan kesatuan dan
perangkat hubungan satu sama lain
c. L. Ackof; sistem adalah setiap kesatuan secara konseptual
atau fisik yang terdiri dari bagian-bagian dalam keadaan saling tergantung satu sama lainnya.
Adapun
syarat sebuah sistem, yaitu[10]:
a. Dibentuk
untuk menyelesaikan tujuan
b. Elemen
sistem harus mempunyai rencana yang ditetapkan
c. Adanya
hubungan antara elemen sistem
d. Unsur
dasar dari sebuah proses (arus informasi, energi, dan material) lebih penting
daripada elemen sistem
e. Tujuan
organisasi lebih penting dari pada tujuan elemen.
Sedangkan sistem informasi adalah sekumpulan aturan
yang membentuk sistem dalam menyajikan data yang memiliki arti dan daya guna[11].
Sistem informasi seringkali kali dihubungkan dengan penggunaan sistem komputer
di dalam kegiatan manajemen. Menurut Lee seperti yang dikutip oleh Putu Laxman
Pendit[12],
terdapat beberapa dimensi yang saling berkaitan dalam sistem informasi, yaitu:
a. Manajemen
sistem informasi melibatkan tidak hanya teknologi informasi, tetapi juga
instansinya
b. Manajemen
sistem informasi melibatkan pula sistem informasi dan konteks organisasinya,
keduanya sebagai elemen yang saling bereaksi dan tidak dapat saling dipisahkan
c. Menajemen
sistem informasi mengandung teknologi intelektual yang sering dikaitkan dengan
manajemen pengetahuan
d. Manajemen
sistem informasi melibatkan aktivitas sebuah profesi khusus untuk menjalankan
fungsi-fungsi korporasi sebagai bagaian integral dari sistem informasi yang
bersangkutan.
Adapun
sistem temu tembali informasi merupakan sistem yang berfungsi untuk menemukan
informasi yang relevan dengan kebutuhan pemakai. Salah satu hal yang perlu
diingat adalah bahwa informasi yang diproses terkandung dalam sebuah dokumen
yang bersifat tekstual. Dalam konteks ini, temu kembali informasi berkaitan
dengan representasi, penyimpanan, dan akses terhadap dokumen representasi
dokumen. Dokumen yang ditemukan tidak dapat dipastikan apakah relevan dengan
kebutuhan informasi pengguna yang dinyatakan dalam query. Pengguna sistem temu kembali informasi sangat bervariasi
dengan kebutuhan informasi yang berbeda-beda.
Sistem
temu kembali informasi didesain untuk menemukan dokumen atau informasi yang
diperlukan oleh masyarakat pengguna. Sistem temu kembali informasi bertujuan
untuk menjembatani kebutuhan informasi pengguna dengan sumber informasi yang
tersedia dalam situasi seperti dikemukakan oleh Belkin[13] sebagai
berikut:
a. Penulis
mempresentasikan sekumpulan ide dalam sebuah dokumen menggunakan sekumpulan
konsep
b. Terdapat
beberapa pengguna yang memerlukan ide yang dikemukakan oleh penulis tersebut,
tapi mereka tidak dapat mengidentifikasikan dan menemukannya dengan baik
c. Sistem
temu kembali informasi bertujuan untuk mempertemukan ide yang dikemukakan oleh
penulis dalam dokumen dengan kebutuhan informasi pengguna yang dinyatakan dalam
bentuk pertanyaan (query).
Berkaitan dengan sumber
informasi di satu sisi dan kebutuhan informasi pengguna di sisi yang lain, sistem
temu kembali informasi berperan untuk:
a. Menganalisis isi sumber informasi dan pertanyaan pengguna
b. Mempertemukan pertanyaan pengguna dengan sumber
informasi untuk mendapatkan dokumen yang relevan.
Adapun fungsi utama sistem
temu kembali informasi seperti dikemukakan oleh Lancaster dan Kent[14] adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi sumber informasi yang relevan
dengan minat masyarakat pengguna yang ditargetkan
b. Menganalisis isi sumber informasi (dokumen)
c. Merepresentasikan isi sumber informasi dengan cara
tertentu yang memungkinkan untuk dipertemukan dengan pertanyaan (query) pengguna
d. Merepresentasikan pertanyaan (query) pengguna dengan cara tertentu yang memungkinkan untuk
dipertemukan sumber informasi yang terdapat dalam basis data
e. Mempertemukan pernyataan pencarian dengan data yang
tersimpan dalam basis data
f. Menemu-kembalikan informasi yang relevan
g. Menyempurnakan unjuk kerja sistem berdasarkan umpan
balik yang diberikan oleh pengguna.
Menurut Lancaster[15]
sistem temu kembali informasi terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem
dokumen, subsistem pengindeksan, subsistem kosa kata, subsistem pencarian,
subsistem antarmuka pengguna-sistem, dan subsistem penyesuaian. Sementara itu
Tague-Sutcliffe[16]
melihat sistem temu kembali informasi sebagai suatu proses dengan kompenen
utama, yaitu kumpulan dokumen, pengindeksan, kebutuhan informasi pemakai,
strategi pencarian, kumpulan dokumen yang ditemukan, penilaian relevansi.
Kemudian menurut Teskey seperti yang dikutip oleh
Rowlands[17]
terdapat beberapa fungsi yang harus diterapkan pada sebuah sistem temu kembali
informasi. Sistem temu kembali informasi yang baik sebaiknya:
a.
Menerima dan menyusun berbagai teks dari
berbagai sumber
b.
Menetapkan penyimpanan yang sesuai untuk
semua teks
c.
Mendapatkan/memperoleh informasi yang
spesifik dari teks yang tersimpan dalam merespon quaries yang diberikan
d.
Merespon teks yang ddapatkan dan
menyajikan kepada pengguna dalam format yang diterima (acceptable).
3. Institutional
Repository
Istilah institutional repository atau
simpanan kelembagaan merujuk ke sebuah kegiatan menghimpun dan melestarikan
koleksi digital yang merupakan hasil karya intelektual dari sebuah komunitas
tertentu. Simpanan kelembagaan ini dikaitkan dengan upaya menghimpuan
karya-karya civitas akademika dalam bentuk artikel-artikel yang kemudian akan
dikirim ke jurnal. Berikut teknologi komputer yang memudahkan pembuatan,
penyuntingan, pengiriman, maupun penempatan artikel di jaringan internet, maka
tercipta peluangbagi setiap orang untuk menterbitkan karya mereka tanpa harus
mengikuti proses pemuatan di jurnal-jurnal resmi[18].
Perkembangan pemikiran tentang simpanan kelembagaan
juga dapat dikaitkan dengan fenomena Open Archives Initative (OAI) yang
merebak di penghujung era 1990-an. Sebelum inisiatif dan gerakan ini meuncul,
sudah ada tanda-tanda bahwa konunitas-komunitas ilmuwan di universitas mulai
punya kebiasaan menyimpan karya-karya mereka secara lokal, dan ini terutama
dilakukan di bidang komputer dan ekonomi. Sifat simpanan ini masih “departement”
karena hanya melibatkan ilmuwan di suatu jurusan atau departemen. Setelah OAI
memperkenalkan protokol untuk tukar menukar bekas melalui teknik yang dikenal
dengan nama harvesting (menemui atau memanen) kegiatan para ilmuwan
meluas menjadi antar fakultas di sebuah perguruan
tinggi. Dari sinilah lahir konsep dan praktik yang membentuk simpanan kelembagaan[19].
Salah satu ciri khas simpanan kelembagaan yang
kemudian juga sempat menimbulkan perdebatan adalah keterbukaannya. Dalam arti
keleluasaan yang diberikan kepada pihak produsen (dalam hal ini para penulis e-print) untuk memuat (upload)
karya mereka tanpa terlalu melalui proses pemeriksaan oleh rekan-rekan mereka (pear
review). Kegiatan ini dikenal dengan istilah self-archiving. Ini tentu
saja merupakan penyimpanan dari tradisi penulisan artikel ilmiah untuk dimuat
di jurnal-jurnal bergengsi. Selama ini para ilmuwan terkadang harus menunggu
setahun atau lebih untuk melihat karyanya dimuat di sebuah jurnal. Banyak
jurnal bengengsi yang meminta bayaran dari penulis sebelum bersedia menerbitkan
karya penulis itu[20].
Sebuah
kelembagaan adalah sebuah simpanan yang memiliki ciri kelembagaan, sebagaimana
dan dengan demikian sangat bergantung pada kelembagaan dan dengan demikian
sangat bergantung pada kesepakatan serta kepercayaan semua pihak yang berkaitan
dengan kelembagaan itu walaupun gerakan dan fenomena yang ditimbulkan oleh
inisiatif pengarsipan terbuka ini pada awalnya lebih terkonsentrasi pada upaya
memperlancar dan mempermudah para ilmuwan memuat atau meletakkan karyanya di
server dan di jaringan antar server, perlahan-lahan muncul juga kesadaran bahwa
kelancaran dan kemudahan itu perlu diikuti dengan keseksamaan dan kehandalan
dalam penyimpanan. Sehingga dapat diartikan, fasilitas teknologi yang
mmepermudah dan mempercepat produksi digital harus segera diimbangi dengan
fasilitas yang menjamin kelestarian produk-produk digital. Dari segi inilah
kita dapat melihat peranan perpustakaan digital sebagai lembaga penghimpunan.
Peran perpustakaan digital dalam konteks simpanan
kelembagaan pada awalnya juga menjadi bahan diskusi dan perdebatan. Inti dari simpanan
kelembagaan adalah inisiatif ilmuwan atau dosen untuk mengirim karya mereka dan
kesadaran untuk menyimpan karya mereka secara pribadi (self archiving).
Kegiatan “mengirim” dan “menyimpan” ini seringkali dapat dilakukan dengan amat
mudah berkat kemajuan teknologi informasi komputer[21].
Hal ini berhubungan dengan perpustakaan perguruan tinggi segera mengadopsi
Model OAIS dan menjalankan konsep keseksamaan, khususnya yang berkaitan dengan
pengelolaan metadata. Lanskap digital simpanan kelembagaan segera berubah cepat
dan dinamis yang melahirkan praktik-praktik baru yang melengkapi fungsi utama
perpustakaan digital[22].
Perpustakaan digital ini berkonsentrasi pada kemudahan pertukaran dan penggunan
pengetahuan yang mungkin tersebar dalam berbagai koleksi, dengan memakai
protokol atau kesepakatan, misalnya protokol yang dikenal dengan nama The
Open Archives Initative’s Protocol for Metadata Harvesting (OAI-PMH), hal
ini merupakan standar yang dapat diikuti oleh para pembuat antarmuka Web bagi
kepentingan penyimpanan dan penemuan kembali di dalam setting Simpanan Kelembagaan[23].
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada akhirnya fenomena instutional
repository atau simpanan kelembagaan bermuara juga di perpustakaan digital yang
melanjutkan “ruh” kepustakawanan sebagai penghimpun pengetahuan yang dapat
dipercaya oleh komunitas pengguna pengetahuan itu[24].
Fenomena simpanan kelembagaan masih terus mencari
bentuk yang pasti. Sebagaimana dikatakan oleh Westell seperti yang dikutip oleh
Putu Laxman Pendit, terdapat beberapa faktor yang akan mempengaruhi
perkembangan fenomena ini, yaitu[25]:
a.
Mandat dan Legitimasi
b.
Integrasi dengan perencanaan lembaga
c.
Model Pendanaan
d.
Keterkaitan dengan program digitalisasi
e. Interoperability
f.
Evaluasi dan pengukuran
g.
Promosi
h.
Strategi Preservasi Digital
Sedangkan
menurut Sulistyo-Basuki sasaran institutional
repository adalah[26]:
a.
Menyediakan akses terbuka bagi luaran
lembaga penelitian dengan cara pengarsipan
b.
Menciptakan ketampakan (visibilitas)
global dalam penelitian universitas
c.
Mengumpulkan barhara (konten) di lokasi
tunggal
d.
Menyimpan dan melestarikan aset digital
institusi, termasuk literature yang tidak diterbitkan atau literatur yang mudah
hilang (skripsi, tesis, laporan teknik).
4. IR Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga
membuat repository untuk penyimpanan
file-file digital, pada awalnya menggunakan software GDL (Ganesha Digital
Library) 4.2 kemudian terbaru beralih pada software Eprints versi terbaru.
Dengan menggunakan software Eprints tersebut diharapkan repositori ini mampu
menyimpan hampir semua format digital, maka semua file-file digital dapat dia
akses oleh publik. Sejak 2007, Perpustakaan ini berkomitmen untuk memudahkan
akses ke koleksi digital yang dihasilkan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga
untuk masyarakat luas. Koleksi digital yang disediakan meliputi skripsi, tesis,
disertasi, laporan penelitian, laporan PPL (Praktik Pengenalan Lapangan), dll.
Di samping koleksi digital tugas-tugas yang dihasilkan mahasiswa tersebut,
perpustakaan juga menyediakan artikel-artikel jurnal, prosiding, soal-soal
ujian, dan informasi tentang UIN Sunan Kalijaga yang dihimpun dalam UINSIANA.
Koleksi digital yang dihimpun tidak hanya dalam format teks, tetapi juga foto.
Berikut akan merencanakan format audio dan video. Seluruh koleksi digital
tersebut dikelola dengan menggunakan aplikasi GDL 4.2. Setelah tim teknologi
perpustakaan melakukan evaluasi terhadap
beberapa kekurangan GDL, serta berbagai masukan dari pengguna perpustakaan
digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, kemudian dilakukan migrasi dari GDL 4.2
ke aplikasi Eprint sejak bulan Mei 2012. Dengan adanya migrasi ini diharapkan
dapat memberikan yang terbaik bagi para pengguna perpustakaan digital UIN Sunan
Kalijaga. Dengan semangat berbagai sumber (reseorce
sharing) antar perpustakaan demi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pembangunan institutional repository (IR) UIN Sunan
kalijaga telah dimulai sejak tahun 2008. Dengan penggunaan software Eprints
sebagai system digital library di
perpustakaan UIN Sunan kalijaga Yogyakarta memiliki berbagai macam keutamaan
dalam menjalankan perannya diantaranya adalah memudahkan akses pada repositori
yang terbuka, akses cepat, fulltext
indexing, kapasitas tinggi, dukungan dari vendor, dukungan dari komunitas
form-form (web-page) yang simpel serta mudah dipahami, sehingga
penelusuran informasi dapat dilakukan
dengan mudah dan efektif.
5. Evaluasi Recall dan Precission
Salah
satu penerapan yang digunakan dalam prinsip evaluasi yang sejak dahulu
digunakan dalam pengembangan sistem IR adalah penggunaan ukuran recall
and precision. Sejak teori tentang IR berkembang di tahun 1940-an, para
ilmuwan selalu memeras otak, bagaimana caranya membuat sistem IR yang
benar-benar handal. Hal ini digunakan untuk mengukur keefektifan sebagai sistem
IR dalam memenuhi permintaan informasi. Dan mengukur kemampuan sistem dalam
menyediakan dokumen yang relevan dengan kebutuhan pemakai. Sehingga upaya yang
dilakukan di sebuah perpusatkaan salah satunya menggunakan evaluasi dengan recall
dan precision[27].
Menurut
istilah recall digunakan dalam psikologi untuk menjelaskan proses
mengingat yang dikerjakan otak manusia. Kata lain untuk recall dalam Bahasa
Inggris adalah remember, recollect, remind. Di bidang IR, recall berkaitan dengan kemampuan
menemukan kembali butir informasi yang sudah tersimpan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa recall merupakan proporsi jumlah dokumen yang dapat
ditemukan kembali oleh sebuah proses pencarian di sistem IR[28].
Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:
Recall =
|
Jumlah dokumen relevan yang ditemukan
|
Jumlah semua dokumen relevan di dalam koleksi
|
Sedangkan precision
dapat juga diartikan sebagai kepersisan atau kecocokan (antara permintaan informasi
dengan jawaban terhadap permintaan itu). Jika seseorang mencari informasi di
sebuah sistem, dan sistem yang menawarkan beberapa dokumen, maka kepersisan itu
sebenarnya juga adalah relevansi. Artinya, seberapa persis atau cocok dokumen
tersebut untuk keperluan pencari informasi, bergantung pada sebuah relevan
dokumen tersebut. Sehingga dapat disimpulkan presecion adalah proporsi
jumlah dokumen yang ditemukan dan dianggap relevan untuk kebutuhan si pencari
informasi[29].
Rumusnya adalah sebagai berikut:
Precision =
|
Jumlah dokumen relevan yang ditemukan
|
Jumlah semua dokumen yang ditemukan
|
Kedua ukuran di
atas biasanya diberi nilai dalam bentuk persentase, 1 sampai 100%. Sebuah
sistem informasiakan dianggap baik jika tingkat recall maupun precision-nya
tinggi. Dalam perkembangan teori IR, ukuran dan eksperimen terhadap kinerja
sebuah sistem semakin diupayakan untuk mengakomodasi berbagai kemungkinan dalam
situasi yang sesungguhnya. Misalnya, Lancaster seperti yang dikutip oleh Putu
Laxman Pendit[30] merumuskan
matriks terkenal berikut ini sebagai ukuran recall
dan precision:
Relevan
|
Tidak Relevan
|
Total
|
|
Ditemukan
|
a (hits)
|
b (noise)
|
a+b
|
Tidak ditemukan
|
c (misses)
|
d (rejected)
|
c+d
|
Total
|
a+c
|
b+d
|
a+b+c+d
|
Lalu,
berdasarkan tabel tersebut, rumus recall-precision
pun menjadi:
Recall
= [a/(a+b)] x 100
Precision
= [a/(a+b)] x 100
Lewat
rumus ini kita dapat membayangkan bahwa sebuah sistem harus meningkatkan nilai
a di rumus di atas (atau nilai hits).
Nilai a yang besar ini dapat terjadi jika jumlah dokumen yang diberikan oleh
sebuah sistem dalam sebuah pencarian juga besar. Semakin besar jumlah dokumen
yang diberikan, semakin besar kemungkinan nilai a. Tetapi pada saat yang sama,
muncul kemungkinan bahwa nilai b (atau jumlah dokumen yang tidak relevan) juga semakin
besar. Ini artinya, nilai precision-nya
semakin kecil. Dalam berbagai eksperimen ditemukan kenyataan bahwa bahwa nilai recall dan precision ini cenderung berlawanan alias terbalik. Jika recall tinggi, besar kemungkinannya precision rendah[31].
Ukuran recall-precision ini tentu saja sangat
berkaitan dengan sistem pengindeksan. Hal ini dilakukan secara full-text
dan dokumen yang diindeks berjumlag puluhan juta. Dalam kehidupan sehari-hari,
ini terjadi ketika kita menggunakan mesin pencari Google di internet[32].
Misalnya kita memerlukan situs web tentang keadaan politik di Indonesia. Coba
kita ketik kata “Indonesia” dan lihatlah berapa banyak dokumen yang diberikan
Google kepada kita. Itulah cermin dati tingkat recall. Total dokumen yang terambil mungkin mencapai jutaan, dan
jumlah dokumen yang relevan juga mungkin sangat besar. Namun besar pula jumlah noise (atau dokumen yang tidak relevan),
sehingga tingkat precision pun
menjadi rendah.
Bahwa ukuran recall-precision ini juga sangat bergantung
pada apa yang sesungguhnya dimaksud dengan “dokumen yang relevan” itu dan
bagaimana memastikan relevan-relevan sebuah dokumen. Perdebatan dan eksperimen
tentang hal ini merupakan penggerak utama dari perkembangan ilmu informasi, dan
menjadi topik paling penting dalam bidang IR, baik secara teoritis maupun
praktis. Salah satu perkembangan yang cenderung mengkritik dan memperbaiki
prinsip-prinsip recall-precision ini datang dari para ilmuwan
dan peneliti yang berpendapat bahwa ukuran ideal sebuah sistem selama ini
terlalu berpihak kepada mesin dan logika yang terlalu ketat[33].
Hal-hal di luar logika ketat recall-precision inilah
yang kemudian membawa berbagai penelitian IR ke ranah-ranah luar psikologi,
sosialisasi, dan bahkan ergonomi dalam pengembangan sistem informasi. Sebagai
salah satu pilar teknologi utama dalam pengembangan perpustakaan digital, maka
teori dan eksperimen IR pun sejak awal sudah menjadi bagian dari berbagai
proyek. Dari sisi IR pula terjadi komunikasi yang lebih intensif antara “orang
komputer” dan “orang perpustakaan”, sehingga secara sepintas kita dapat melihat
bahwa sebenarnya IR lah yang membawa kedua profesi ini bertemu di bidang.
Adapun contoh evaluasinya di IR perpustakaan UIN
Sunan Kalijga adalah penelusuran melalaui
fasilitas simple search dengan menggunakan istilah
subyek. penelusuran ini adalah metode yang paling sering digunakan oleh para
penelusur karena tanpa membatasi gabungan antara frase pencarian. Evaluasi
pada makalah ini menggunakan pendekatan precision.
Penelusuran dengan menggunakan satu subyek tanpa menggunaan strategi pencarian, adapun subjek
yang digunakan adalah “Difabel Netra”. Sehingga mendapatkan hasil sebagai
berikut:
Pada
pencarian ini mendapatkan hasil yang berjumlah 144, namun hasil temuan yang
relevan sejumlah 3. Sehingga untuk hasil dari perhitungan precesionnya sejumlah
0,28%. Dengan rumus yang tertera di atas.
D.
KESIMPULAN
Intitutional
repository bertujuan untuk mempermudah pengguna mengetahui
koleksi ilmiah yang dimiliki oleh perguruan tinggi melalui perpustakaan. Namun,
dalam pencarin IR di perpustakaan UIN Sunan Kalijaga hasil pencarian tidak
sesuai dengan subyek yang dicari. Karena, sistem tidak memberikan temuan secara
langsung terhadap subjek yang dicari. Kemudian, pada hasil temuannya subyek
yang tidak dicari pun ikut muncul dalam tampilan hasilnya.
E.
DAFTAR
PUSTAKA
Belkin, N.J.,
“Anomalous State of Knowledge as a Basis for Information Retrieval”, Canadian Journal of Information Sciences,
5, 1980, hlm. 133-143.
Lancaster, F.W.,
Information Retrieval Systems: Characteristics,
Testing, and Evaluation, 2 nd Edition, New York: John Wiley, 1979.
Lasa HS, Kamus Kepustakawanan Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2009.
Paryati dan
Yosef Murya Kusuma Ardhana, Sistem
Informasi, Yogyakarta: Ardana Media, 2007.
Putu Laxman
Pendit, Perpustakaan Digital: dari A sampai Z, Jakarta: Cita Karyakarsa
Mandiri, 2008.
Putu Laxman
Pendit, Perpustakaan Digital:
Kesinambungan & Dinamika, Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri, 2009.
Rowlands, Text Retrieval: an Introduction ,
London: Taylor Graham,1986.
Sanusi Sofyan,
“Evaluasi Sarana Temu Kembali Informasi Perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Islam Tazkia”, Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia, 2008.
Suharmini
Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan,
Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Sulistyo-Basuki,
“Ilmu Perpustakaan”, Diktat Matakuliah Perpustakaan Dan Informasi Dalam
Masyarakat Global Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijga Yogyakrta, hlm. 22.
____________, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Tague-Sutclife,
J.M., “Some Perspective on the Evaluation of Information Retrieval System”, Journal of the American Society for
Information Science, 47(1), 1996, hlm. 1-3.
[1] Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 51.
[2] Putu Laxman Pendit, Perpustakaan
Digital: dari A sampai Z (Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri, 2008), hlm.69.
[3] Ibid., hlm. 69.
[4] Suharmini Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan
(Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 3.
[5] Sanusi
Sofyan, “Evaluasi Sarana Temu Kembali Informasi Perpustakaan Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi Islam Tazkia” (Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia, 2008).
[6] Paryati dan Yosef
Murya Kusuma Ardhana, Sistem Informasi
(Yogyakarta: Ardana Media, 2007), hlm. 1.
[8] Ibid., hlm. 2.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Lasa HS, Kamus Kepustakawanan Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2009), hlm. 315.
[12] Putu Laxman Pendit, Perpustakaan
Digital: dari A sampai Z..., hlm. 268-269.
[13] Belkin, N.J.,
“Anomalous State of Knowledge as a Basis for Information Retrieval”, Canadian Journal of Information Sciences,
5, 1980, hlm. 133-143.
[14] Lancaster, F.W.,
Information Retrieval Systems:
Characteristics, Testing, and Evaluation, 2 nd Edition (New York: John
Wiley, 1979).
[16] Tague-Sutclife,
J.M., “Some Perspective on the Evaluation of Information Retrieval System”, Journal of the American Society for
Information Science, 47(1), 1996, hlm. 1-3.
[17]
Rowlands, Text Retrieval: an Introduction
(London: Taylor Graham,1986)
[18] Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital: Kesinambungan &
Dinamika (Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri, 2009), hlm. 50.
[19] Ibid., hlm. 50.
[20] Ibid., hlm. 51.
[21] Ibid., hlm. 52.
[22] Ibid., hlm. 53
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 54.
[25] Putu Laxman Pendit, Perpustakaan
Digital: dari A sampai Z..., hlm. 140-141.
[26]
Sulistyo-Basuki, “Ilmu Perpustakaan”, Diktat Matakuliah Perpustakaan Dan
Informasi Dalam Masyarakat Global Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijga Yogyakrta,
hlm. 22.
[27] Putu Laxman Pendit, Perpustakaan
Digital: dari A sampai Z..., hlm. 257.
[28] Ibid.
[30] Ibid., hlm.
258.
[31] Ibid., hlm. 258.
[32] Ibid.
[33] Ibid., hlm. 259.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar