Rabu, 10 Februari 2016

Model Penelitian Kultur Pendidikan Islam: “Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama Dan Tradisi” Dalam Bukunya Abdurrahman Mas’ud M.A.,Ph.D.

A.                Latar Belakang Masalah

Dalam era globalisasi ini para pelopor dunia pesantren dan ajaran-ajaran sosial keagamaan merupakan topik riset yang sulit dan menantang, akan tetapi bisa dilaksanakan.[1] Secara teknis pesantren adalah tempat santri tinggal dan belajar. Lembaga pesantren atau pondok terdiri dari guru sebagai pemimpin, serta beberapa kelompok santri atau murid yang jumlahnya tidak sedikit bahkan bisa sampai ratusan. Komunitas pesantren ini telah berperan dalam perkembangan sufi di tanah air.



Dalam buku karangan Abdurrahman Mas’ud ini juga akan menerangkan dan menganalisa lima ulama penting yang diasumsi sangat berpengaruh dalam dunia pesantren. Mereka adalah tokoh ensiklopedis dan multidisiplin ilmu, Nawawai al-bantani (meninggal 1897), spesialis hadis mahfuz Tremas atau at-Tirmisi (meninggal 1919) yang biasanya dijuluki al-muhaddits dan al-Musnid, kiai yang paling karismatik spiritualis Khalil Bangkalan (meninggal 1924), K.H.R Asnawi Kudus (1861-1959), seorang kiai da’i keliling yang terlibat langsung dakwah bi al-maqal wa al-hal melalui kemampuan bahasa yang retorik dan efektif, dan K.H Hasyim Asy’ari (1871-1947), sang kiai yang pergerakan, inspirator nasionalis di dunia pesantren.[2]

Al-Bantani dan at-Tirmisi akan diklarifikasikan sebagai guru-guru besar dunia pesantren, sedangkan tiga lainnya akan dikelompokkan sebagai ahli strategi pesantren. Diantara kelima ulama ini sangat berbeda dalam berkontribusi terhadap perkembangan dunia pesantren. Kelompok pertama menandai dengan karya-karya produktif mereka, dan status istimewa mereka sebagai Imam al-Haramain di Timur Tengah. Karya mereka semuanya berbahasa Arab, dan tidak hanya dipelajari oleh para santri di Jawa akan tetapi juga Muslim di berbagai penjuru dunia. Sedangkan tiga ulama terakhir, masih belajar ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan dua guru tersebut. Meskipun dua ulama menghabiskan mengajar di timur Tengah, tetapi posisi mereka sebagai master intelektual dunia pesantren tidak diragukan lagi, karena mereka merupakan bahan inspirasi dan kiblat dunia pesantren. Dan ketiga tokoh yang merupakan ahli strategi dunia pesantren telah mendirikan lembaga-lembaga pesantren di Jawa, Sunda dan Madura setelah mereka menyelesaikan pendidikan di Hijaz. Mereka sebagai tokoh yang ampuh dan dihormati dan dikagumi. Selain itu mereka juga dianggap sebagai mastermind yang berhasil melembagakan masyarakat santri dalam skala nasional.
Pemilihan ulama tersebut bukan dengan cara asal-asalan, akan tetapi mereka mempunyai kriteria lain untuk dipilih dan diputuskan ulama yang masuk dalam studi ini adalah kadar pengaruhnya yang membentang luas yang melampaui masa mereka hidup hingga hari ini atau dalam istilah asing disebut enduring legancy, sehingga dengan demikian studi ini bisa disebut a view from within (melihat dari dalam). Kekuatan lisan termasuk menyaksikan, berkomunikasi, dan interaksi tampak begitu dominan dalam budaya kaum santri hingga pemimpin yang mudah dikenal dan diagungkan sepanjang masa karena keberadaan mereka yang aktual dengan demikian tradisi lisan memerankan peran penting dalam masyarakat santri.

B.                 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, maka yang terjadi permasalahan adalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana ajaran Nabi Muhammad tentang pendidikan Islam dipahami pada abad XIX dan awal di Jawa? 
  2. Bagaimana para sarjana muslim Jawa memandang dan menerapkan doktrin-doktrinnya? 
  3. Apa pengaruh jaringan intelektual ulama Jawa yang berada di Jawa dan Arab terhadap pendidikan kaum muslimin Jawa?

C.                Kajian Pustaka

Perkembangan Islam di Indonesia telah memberi gambaran menarik tentang sebuah keunikan pengalaman, yang tidak kurang dramastisnya daripada kejadian yang tengah berlangsung di Timur Tengah, dan tidak kurang spektakuler pengaruhnya untuk masa sekarang Islam itu sendiri, dan perkembangan ini belum memperoleh perhatian yang cukup. Bahwa kenyataannya jumlah kaum muslim Indonesia melebihi keseluruhan populasi muslim Negara-negara arab, dan muncul kebanggaan di kalangan kaum intelektual, baik latar belakang pendidikan sekuler modern maupun ulama, namun Islam di Nusantara merupakan lapangan riset dan study yang relative terabaikan oleh islamisis. Dan siapa pun yang berusaha memahami Indonesia harus familiar dengan elemen-elemen Jawa.

Dengan adanya karya-karya penting dapat memberi kekuatan Islam di indonesia khususnya jawa sehingga yang lebih signifikan yaitu khususnya karya-karya Geertz dan para pengikutnya yang lebih menggunakan pendekatan dikotomis yang sangat mempertentangkan Islam modern dan tradisional, dan hanya menghasilkan gambaran permukaan serta sangat tidak adil terhadap substansi aktual di Jawa dan mengasosiasikan segala sesuatunya dengan latar belakang Aborogin atau Hindu-Budha. Studi terpenting Geertz mengenai Islam, The Religion of Java, ditulis pada tahun 1960-an yang sering dijadikan rujukan oleh para peneliti. Dan karya ini ditentang oleh seorang sarjana Jepang, Mitsuo Nakamura, dan dua orang ahli antropologi Amerika, Robert W. Hefner dan Mark R.Woodward.[3] Hal ini karena posisi jawa yang berada di pinggiran dunia muslim, sehingga muncullah suatu tendensi di kalangan islamict untuk meninggalkannya dalam setiap diskusi islam. Riset ini berdasarkan sumber-sumber primer yang ditulis oleh orang islam jawa sendiri. Sehingga muncullah ide “pelestarian budaya” yang berkembang dalam komunitas santri yang merupakan salah satu kenyataan yang benar meskipun sebagian sarjana tidak memperdulikan. Pelestarian budaya lokal merupakan salah satu ciri yang menonjol dari budaya pesantren. Dan dengan beriringannya dengan esensi “pelestarian budaya”, modeling juga sangat dipegang teguh dalam tradisi pesantren, yang merupakan unsur penting dalam filsafat jawa.[4]
D.                Metodologi

Sumber utama dari historiografi Jawa adalah Babad Tanah Jawa yang lumayan banyak digunakan.[5] Dan bagaimanapun juga sumber utama yang digunakan untuk melakukan studi ini adalah sumber yang ditulis oleh para ulama pesantren itu sendiri. Para penulis tentang hasil karyanya akan menjadi referensi sekaligus objek dari studi ini, anekdot-anekdot pesantren yang diyakini memberikan inspirasi, dan juga dukungan sejarah lisan melalui wawancara dan mempelajari cerita-cerita popular yang berkembang dalam komunitas pesantren.
Dengan begitu penelitian ini menggunakan teori Weber tentang karismatik yang digunakan untuk memperoleh nuansa yang lebih luas tentang kepemimpian kiai sehingga tidak timbul hal yang aneh. Selain menggunakan Teori Max Weber, peneliti juga menggunakan teori Durkheim tentang siosiologi pendidikan yang digunakan untuk mengerjakan beberapa bagian riset ini. Sehingga komponen ini sangat membantu untuk menunjukkan kompleksitas elemen-elemen Jawa dengan fokus pada para pemimpin muslim dan kehidupan sosial mereka sehari-hari, dan pokok ajaran meraka.

E.                 Pembahasan

1.                  Akar-Akar Ajaran Islam
Ideologi maupun proses belajar mengajar dipandang sebagai satu kesatuan, karena mencangkup dalam pembentukan tradisi intelektual sunni juga akan dilacak. Modeling dalam ajaran islam diidentikkan dengan uswatun hasanah dan sunnah hasanah, contoh ideal yang harus diikuti. Modeling disini difokuskan pada person-person tertentu, yakni Nabi dan Walisongo. Dan keduanya tidak diraguan lagi karena contoh ideal, dan juga kiblat bagi kaum muslim Jawa. Bagi kaum pesantren, minimal ada dua model yaitu Muhammad dipandang sebagai model universal yang harus diikuti umat islam seluruh dunia termasuk muslim santri Jawa itu sendiri, dan Walisongo sebagai model domestik. Dengan kekayaan dua model ini, komunitas santri Jawa membedakan diri dengan modernis muslim Indonesia.

a)                  Basis Ideologis : Pemahaman Konseptual

Dengan melihat permulaan pendidikan Islam haruslah disertai dengan pemahaman tentang motivasi yang melekat pada proses belajar mengajar yang dilakukan kaum muslim sepanjang sejarah dengan penekanan pada periode awal.[6] Hal ini berkaitan erat antara aktivitas belajar dan motivasi utama-nya, karena islam adalah satu agama yang menempatkan ilmu pengetahuan pada status yang sangat istimewa. Sehingga Allah akan meninggikan derajat mereka yang beriman di antara kaum muslim dan mereka yang berilmu.[7] Ini merupakan signifikan bahwa wahyu pertama yang diterima oleh Nabi dimulai dengan perintah ilahiah yaitu “bacalah” (iqra’).[8] Ayat berikutnya menegaskan bahwa dengan pena (al-qalam) Allah mengajarkan manusia mengenai bagaimana dan apa yang belum diketahui. Ayat ini menunjukkan arti penting membaca sebagai suatu aktivitas intelektual dan menulis yang dilambangkan dengan al-qalam, dalam proses belajar mengajar secara luas. Bagi kebanyakan kaum muslim, Al-Qur’an bukanlah buku panduan atau petunjuk, akan tetapi juga sebuah seruan mencari ilmu pengetahuan.

Pendidikan sepanjang hayat memiliki nilai tinggi di kalangan kaum muslim. Upaya mencari ilmu pengetahuan merupakan tugas atau kewajiban bagi setiap muslim, laki-laki dan perempuan. Menurut Nabi tinta para pelajar setara dengan darah  syuhada’ di hari pembalasan nanti. Dengan guru dan murid dalam proses belajar mengajar dipandang sebagai “orang-orang terpilih” dalam masyarakat yang telah termotivasi secara kuat oleh agama untuk mengembangkan dan mengamalkan pengetahuan mereka. Hal ini sesuai dengan posisi seorang terpelajar atau berilmu, guru dan murid mempelajari Al-qur’an telah dijamin oleh Nabi sebagai makhluk yang paling mulia. Dan selama berabad-abad Al-qur’an dan hadits telah menjadi kurikulum inti dalam pendidikan islam dan memberikan kontribusi dan memperkaya peradaban komunitas agamis. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ilmuwan muslim yang hidup sejak XVIII dan seterusnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa akar-akar ajaran Islam bisa diketahui sejak masa paling awal lahirnya islam, dengan ciri ditandai dengan formalitas.

b)                 Model

1)                  Muhammad: Model Paripurna
Di kalangan kaum muslim, Muhammad dikenal luas sebagai seorang pendidik. Prof. Dr. James E. Royster dari Cleveland State University telah melakukan riset intensif tentang peran Muhammad sebagai seorang guru, teladan, dan sebagai seorang manusia ideal, telah membahas kesan-kesan kaum muslim terhadap Nabi mereka.[9] Dia menyatakan bahwa mungkin tidak ada seorang pun dalam sejarah manusia yang lebih banyak diikuti, daripada nabinya kaum muslimin (Muhammad). Bagi Royster, Muhammad telah mengajarkan kebenaran dengan ucapan dan mengamalkan kebenaran itu dalam kehidupannya. Bahwa Muhammad sebagai seorang guru bukan hanya masanya saja, namun juga bagi seluruh kaum muslim pada masa sekarang. Dengan kata lain guru itu adalah Muhammad dan muridnya adalah kaum muslim di dunia Islam. Sementra Muhammad merupakan seorang guru yang aktual bagi para sahabatnya. Dan bagi kaum muslim lainnya beliau menjadi seorang imaginary educator. Bagaimanapun, seluruh kaum muslim haruslah mempelajari satu ajaran yang sama dari Al-qur’an dan Hadits yang menjadi pegangan abadi dalam kehidupannya.

Pendidikan disini bukanlah pendidikan formal, akan tetapi juga pendidikan yang fleksibel dalam usaha mengembangkan mental-moral melalui ajaran Muhammad untuk perbaikan dan peningkatan religius. Sebelum adanya masjid, rumahlah menjadi salah satu tempat penyampaian ajaran islam. Rumah al-Arqam pada masa permulan islam dijadikan sebagai pusat aktivitas agama batu, dan disinilah Nabi menjelaskan doktrin-diktrin keimanan, sehingga beberapa orang menyatakan memeluk agama islam. Selain itu Nabi juga menyampaikan ajaranya dengan hikmah dan anjuran yang baik. Dan Nabi secara konsisten berdo’a agar Allah membimbingnya dan menjadikan ajarannya sebagai ajaran yang mulia. Bahwa Nabi merupakan inspirasi bagi para muridnya, sehingga mereka memiliki “kepercayaan guru” dan “harga diri” dalam mengabdi kepada Allah dan meenegakkan kebenaran.

Gerakan sosial islam yang disebarkan Nabi bukan hanya pendidikan normatif, melainkan gerakan sosial keagamaan yang membawa kebahagiaan umat manusia.[10] Dari deskripsi normatif dan histori singkat, dapat disimpulkan bahwa Muhammad telah mengedepankan keteladanan dalam beberapa hal yaitu diharuskan memperoleh ilmu (thalab al-‘ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin) dan nabi telah mengangkat kemiskinan melawan para konglomerat yang menindas dengan menekankan tanggung jawab si kaya serta menyuarakan hak-hak si miskin.

2)                  Walisongo: Model Awal Jaya di Jawa

Di kalangan ini ilmuwan terdapat ketidaksepakatan mengenai siapa yang memainkan peran utama dalam memperkenalkan dan menyebarkan ajaran islam di kepulauan Nusantara. Bahkan kapan islam masuk Nusantara masih menjadi perdebatan. Beberapa ilmuwan, seperti Van Leur, yang berpandangan bahwa para pedagang Arab-lah yang memiliki peran penting dalam menyebarkan Islam di Indonesia, sementara ilmuwan lainnya seperti Anthony Johns, menilai bahwa proses Islamisasi tersebut lebih banyak dilakukan oleh agen-agen sufi.[11]
Walisongo merupakan agen-agen unik Jawa pada abad XV dan XVI yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekular dalam menyiarkan Islam. Asal mula pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad XV-XVI di Jawa. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam yang telah berhasil mengombinasikan aspek-aspek sekular dan spiritual dalam memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Dan fakta ini menunjukkan bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta memodifikasikan ke dalam ajaran islam akan tetap bersandar pada prinsip islam. Hal ini menarik diamati bahwa perubahan dalam bentuk konversi Hindu-Budha ke islam terjadi pertama kali, diantara masyarakat nelayan dan bukan kerajaan di pedalaman.

Pada abad XV para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo dengan mendirikan masjid pertama di tanah jawa. Dan berkaitan dengan konsep keteladanan, taqlid menjadi bagian penting dari religiusitas para santri Jawa. Dan modeling merupakan bagian penting filosofi Jawa yang sudah lama. dan kekuatan modeling sejalan dengan sistem nilai Jawa yang menganut paternalism dan hubungan patron-client yang memiliki akar kuat daam masyarakat.[12]

Bahwa Wali dalam menyampaikan misinya diyakini sebagai penerus Nabi secara fisik dalam peran serta sosial, untuk memperkenalkan dan memecahkan masalah masyarakat. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip Walisongo dalam menjalankan sunnah dan menciptakan model, yang diyakini menjadi pelopor dalam penerapan syari’at dan menciptakan sebuah standar model. Dan gerakan sufi dalam konteks Indonesia hampir identik dengan terjadi di dunia Islam selama periode 500 tahun, sejak abad XIII hingga XV sehingga dikatakan sebagai periode sufi dalam sejarah Islam. Dan interaksi antara Sunisme dan Syi’isme memiliki kontribusi yang sangat besar mengenai komunitas Islam yang unik di wilayah. Dan sesungguhnya upaya Islamisasi yang telah ditempuh oleh para Walisongo merupakan ekspresi “Islam Kultural”. Sehingga pendidikan Islam atau tranmisi Islam yang dipelopori Walisongo merupakan perjuangan blirian yang diimplementasikan dengan cara sederhana.

Pendekatan dan kebijakan Walisongo terlembaga dalam satu esensi budaya pesantren dengan ideologis dan kesejahteraannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri.[13] Dan ajaran-ajaran Walisongo tidak dapat dipisahkan dari ajaran dasar sufisme. Karena sufisme sebagai elemen aktif dalam penyebarkan islam di Jawa. Sehingga pendekatan-pendekatan walisongo di kemudian hari terinstitusi dalam tradisi pesantren.

2.                  Muslim Santri di jawa Abad XVII/XIX

Ajaran Islam di jawa abad XVII dan XIX berada di bawah bayang-bayang Walisongo dan bukanlah hal yang berlebih-lebihan. Dan hampir lima abad setelah periode walisongo, pengaruh mereka masih terlihat sampai sekarang. Kemenangan ini terjadi pada abad XV dan XVI, setelah zaman kuwalen (periode perwalian). Pendekatan walisongo secara berkesinambungan dilanjutkan melalui institusionalisasi pesantren, kesalehan sebagai jalan hidup santri, pemahaman yang jelas terhadap budaya asli. Pengaruh walisongo dikuatkan oleh Sultan Agung yang merupakan seorang pemimpin  yang saleh, yang senantiasa menjaga hubungan baik dengan kelompok ulama pada abad XVII seabad setelah periode Walisongo, yang memerintah Kerajaan mataram di Yogyakarta, jawa tengah dari tahun 1613 hingga 1613. Dan pada tahun 1641 memperoleh otorisasi baru “Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani” dari pemerintahan Syarif Mekkah setelah mengirim orang utusan ke Mekkah untuk mengajukan permohonan gelar tersebut pada tahun 1639. Dan agenda politik Sultan Agung adalah mempersatukan kepulauan Indonesia di bawah bendera Islam.

Situasi yang sama juga terjadi pada permualaan dan akhir abad XIX . Diponegoro (1785-1855) merupakan salah satu simbol lain kaum mujahid (pejuang) Jawa atas perjuanagannya melawan kolonial Belanda dalam perang Diponegoro (1825-1830). Dia memperoleh dukungan yang luar biasa dari ulama Jawa beserta santrinya.[14] Dan di jawa khususnya Jawa Barat terjadi perlawanan yang serupa yaitu pemberontakan sengit yang berkaitan erat dengan gerakan kaum sufi, yang terlibat dalam pemberontakan ini adalah para haji dan kiai. Para kiai memiliki otoritas untuk memberikan fatwa bahwa mempertahankan Tanah Air adalah kewajiban bagi kaum mukmin. Dan para kiai bukan saja kelompok yang berkewajiban merespons tantangan-tantangan kaum kolonial.
Hasyim Asy’ari (1871-1947), kiai pesantren yang paling kuat di kemudian hari, yang memperoleh kesempatan untuk mengikuti perkuliahan khatib di Mekkah, dan diperkenalkan karya-karya Muhammad Abduh (1849-1905), yang bukan untuk diikuti namun sebaliknya untuk dikritisi. Bahwa Hasyim sangat menghargai tulisan abduh tentang tafsir dan kumpulan karyanya yang mendorong bagi kebangkitan dunia muslim. Dan para pelajar yang kembali dari Timur Tengah paling tidak tampaknya ada dua jenis yaitu mereka yang menentang ide-ide para reformasi muslim dan mereka yang mendukung.

3.                  Para guru Intelektual Tradisi Pesantren
a)                  Nawawai al-Bantani (1813-1897)

Dilahirkan pada tahun 1230/1813 di banten Jawa Barat, dan dibesarkan di lingkungan keluarga muslim. Nawawi dikenal sebagai sosok ulama. Dia meninggal pada tahun 1314/1897 di Makkah.[15] Sejak kanak-kanak dia adalah pelajar yang aktif dan serius untuk menghafalkan Al-Qur’an. Di umur 15 tahun, Nawawi belajar di Makkah dan tinggal selama 3 tahun. Di Hijaz ia di didik oleh (Sayyid Ahmad bi Sayyid Abd Rahman an-Nawawi, Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan) di Makkah, dan (Syaikh Muhammad Khatib Sambas al-Hanbali) di Madinah.[16] Selanjutanya Nawawi menimba ilmu ke Syria dan Mesir. Tahun 1833 Nawawi pulang ke Jawa Barat dan tahun 1855 ia kembali dan menetap di tanah suci. Beberapa situasi yang mendorong keberangkatan Nawawi ke Makkah, karena periode ini diwarnai dengan intervensi pemerintahan kolonial Belanda terhadap kehidupan sosio-religius masyarakat Jawa dan munculnya jati-diri dan penghargaan di kalangan penduduk yang “tertindas”. Banyak yang menyebutnya sebagai seorang “hamba ilmu pengetahuan”. Perjalanan intelektualnya ke Hijaz, ia yakin di pusat transisi ilmu pengetahuan Islam merupakan segalanya, karena dengan mengajar dan menulis banyak karya akan menjadikan namanya tetap termasyhur dan senantiasa dikenang.
Status Nawawi sebagai Imam al-Haromain, yang telah mengajar di Makkah maupun Madinah sejak tahun 1860-an. Julukan ini bisa ditemukan dalam halaman sampul karyanya yang popular, dua volume besar Tafsir Marah Labid tentang tafsir Al-Qur’an. Kitab-kitab yang ia tulis dipahami oleh para pelajar Indonesia dari beberapa tempat. Karya dan bukunya memandang bahwa Nawawi sebagai seorang pahlawan Muslim Jawa pada abad XIX di Arab. Ketika dia mengajar khususnya di Ma’had Nasyr al-Ma’arif ad-Diniyah di Masjidil Haram, Nawawi dikenal sebagai guru yang simpatik, yang menyampaikan pelajarannya secara jelas dan mendalam, dan komunikatif dengan murid-muridnya. Dan yang jelas Nawawai merupakan guru yang demokratis. Nawawi memiliki pengaruh besar terhadap murid-muridnya. Diantara mereka yang berasal dari Indonesia[17]: (1) K.H Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur (Pendiri Nahdatul Ulama’), (2) K.H Khalil Bangkalan, Madura, Jawa Timur, (3) K.H Ilyas, Serang Banten, Jawa Barat, (4) K.H Tubagus Muhammad Asanawi, Ciparing, Jawa Barat.
Selain peran Nawawai sebagai seorang guru, ia juga banyak mengarang sebuah karya yang cukup banyak, diantara karya yang telah ia tulis paling tidak tentang bidang ilmu pengetahuan yaitu[18]:

1.                  Bidang Tafsir

Salah satu karya Nawawi yang sangat dikagumi oleh ulama di Makkah dan Mesir adalah Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil, atau judul lain, Marah Labid an-Nawawi. Karena prestasi di bidang tafsir, ulama menganugerahkan  kepadanya gelar Sayyid ulama’ al-Hijaz. Nawawi mewakili orang non-Arab yang menulis karya tafsirnya dalam bahasa Arab yang sangat indah. Terdapat perbedaan antara Nawawi dan Muhammad Abduh yaitu:
NAWAWI
MUHAMMAD ABDUH
Dipengaruhi oleh pemikir para ulama’ sunni abad pertengahan
Dipengaruhi oleh para pemikir mu’tazilah
Lebih bersandar pada Al-Qur’an, hadis, pendapat para sahabat, dan ulama Salaf terpercaya
Lebih mengembangkan kekuatan analitis
Ibarat Ghazali abad XIX dalam masyarakat Jawa
Ibarat Ibnu Rusyd yang lebih mengedepankan akal daripada wahyu
Dalam menafsiri hidayah, Abduh menganggap hidayah sebagai anugerah istimewa dari Tuhan dalam wujud keyakinan dan addin al-haqq (agama yang benar). Hidayah dan taufiq (anugerah tuhan) adalah sunnah ar-Rabb (Ciptaan Tuhan) dan bersifat qadim di alam
Dalam menafsiri hidayah, Abduh menyebutnya hidayah al-‘aql ini mampu mengoreksi kekeliruan inderawi dan tendensi-tendensi melalui akal
Pemikiran Nawawi lebih interpretif terhadap “Pertanyaan teo-sentris”
Pemikiran Abduh lebih mendetail dalam isu-isu “Antropologi”



Kontribusi utama Nawawi dalam bidang tafsir adalah bahwa dia telah menulis sebuah tafsir ketika dunia Islam tidak menunjukkan adanya tanda-tanda munculnya revitalisasi tradisi klasik islam. Nawawi menulis tafsir dengan pengakuan bahwa dia mengerjakan karya sederhana ini untuk menunjukakn kesalehan ulama salaf dalam memelihara ilmu pengetahuan agar setiap orang dapat memperoleh manfaat dirinya.[19] Kekhasan karya Nawawi terletak pada perhatian khususnya pada nilai pentingnya pengetahuan. Sebagai contoh dalam menafsirkan induk Al-Qur’an (surat al-Fatihah) dia menjelaskan bahwa surat ini memuat paling tidak empat bidang ilmu pengetahuan yaitu Pertama, Tauhid, Keesaan Tuhan, atau Teologi. Kedua, hukum Islam dengan ibadah sebagai bagian terpenting. Ketiga, kesempurnaan ilmu yang sejalan dengan moralitas Islam. Keempat, sejauh atau kisah berbagai bangsa bangsa dari pada masa lampau.[20]  Selain itu segi penting lain dari kitab tafsir dalam karya Nawawi adalah penekananya terhadap kesalehan dengan menyampaikan ajaran akidah (keimanan) dan keyakinan kepada Tuhan dan petunjuknya. Dan tersedia cukup banyak dan komprehensif informasi tentang asbab an-nuzul dan banyak yang tidak menyangka Nawawi mempunyai background kuat dalam sastra dan tata bahasa Arab.

2.                  Bidang Sufisme dan Akhlak
Berkenaan dengan tema-tema sufisme Nawawi di dalam karya-karyanya, ia tidak bisa melupakan Syaikh Khatib Sambas (Ahmad Khatib as-Sambasi) sebagai guru Nawawi. Hal ini adanya keterkaitan intelektual dan spiritual antara guru dan murid dalam transmisi keislaman selalu menjadi sesuatu yang sangat penting. Nawawi sebagai penganut sufisme Ghazali, dia menyarankan kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu imam tasawuf, seperti Imam Sa’id bin Muhammad Abu al-Qasim al-Junaid. Baginya ia adalah pangeran sufisme dalam arti teoretis maupun praktis. Gaya hidup sufi yang “populer” berupa kesalehan dan kesederhanaan tanpa menentang secara ekstrim kehidupan dunia merupakan ciri khas ajaran sufisme. Hal itu lebih cocok dengan dua kehidupan dan dua dimensi yang saling melengkapi: syari’at dan sufisme. [21]
Nawawi menulis tentang sufisme bukannya tanpa misi, namum mempunyai tujuan tertentu yaitu ditujukan bagi kemanfaatan umat muslim, bagi kehidupannya di akhiratnya kelak. Dan melalui karya-karyanya dia mengharapkan bahwa kaum Muslim akan memperoleh hikmah ilmu pengetahuan Islam dalam rangka mempelajari dan mengamalkan kebajikan, sehingga senantiasa dibimbing oleh prinsip-prinsip Islam. Pada akhir abad XIX di Jawa terlihat adanya kemajuan sufisme “populer”, khususnya Qadariyah-Naqsyabandiyah. Hal ini Nawawi juga dianggap sebagai guru di Hijaz melalui ajaran-ajaran aktualnya dalam masyarakat serta melalui karya-karyanya yaqng dipublikasikan paling tidak telah memberikan konstribusi bagi pertumbuhan sufisme di kalangan masyarakat Jawa.[22]
Nawawi menggunakan metafora mengenai syari’ah ibarat kapal, thariqah ibarat laut, dan haqiqah ibarat permata. Yang disebut terakhir, permata, berada di dalam laut, sementara kedalaman laut dapat dicapai dengan menggunakan kapal. Tidak ada keraguan, perbaikan spiritualisme yang sering kali didukung dengan teladan praktik-praktik kebaikan yang diambil dari salaf ash-shahih merupakan ciri utama dari sufisme Nawawi. Nawawi juga membahas tentang individu sebagai bagian dari masyarakat yang merupakan pusat interaksi sosial. Dengan kata lain, bahwa antara haqq Allah dengan haqq al-adami seharusnya memperoleh penghargaan yang sebanding. Sehingga dapat disimpulakan bahwa Nawawi adalah seorang sufi yang teoritis maupu praktis. [23]
3.                  Bidang Hukum Islam
Tidak ada seseorang yang menyangka bahwa Nawawi adalah orang ulama Syafi’i. Dia merupakan tokoh penting penjaga ajaran Syafi’i di kalangan kaum Muslim Jawa. Dan Nawawi sangat bersahaja dalam memperkenalkan karya-karyanya dengan menyatakan bahwa hasil karyanya tidaklah berarti namun hanya merupakan kutipan dari beberapa penulis. Bagi Nawawi menjadi seorang penganut Syafi’i bukanlah tanpa alasan. Madzhab Syafi’i dikenal lebih terpercaya, Abu Hanifah lebih massive, sedangkan Ahmad bin Hambali dipandang lebih saleh. Lebih dari itu Madzhab Syafi’i bagaikan mutiara yang memancarkan dan menjulang dalam sebuah kehidupan yang bahagia. Hal ini bertaqlid terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16):43 dan surat Al-Anbiya’ (21):7.[24]
Menjadi muqallid dan mujtahid merupakan satu diantara isu-isu yang sensitif dan kontroversi pada abad XIX. Hal ini Nawawi meninggalkan sebuah prinsip yang amat penting yakni menjadi muqallid yang terus melakukan kajian dan kritis. Nawawi mempunyai pandangan yang berbeda tentang ziarah kubur. Nawawi tidak menentang aktivitas ini, namun menganjurkan kaum Muslim untuk memberikan penghormatan khusus ketika berada di makan Nabi. Hal ini tidak hanya terhadap Nabi, tetapi juga terhadap para sahabat. Khususnya kepada Abu Bakar dan Umar, yang dimakamkan di samping makam Nabi. Sejalan dengan ide itu, ide tentang tawasul diperbolehkan. Yakni sebuah aktivitas menyebut Nama Nabi ketika seseorang berdoa di waktu sholat. Dengan demikian, menurut Nawawi ziarah kubur dipandang sebagai bagian dari sunnah Nabi.[25]
Bagi Nawawi, fiqh adalah jenis ilmu pengetahuan Islam yang sangat signifikan, karena tak seorang pun bisa berkomunikasi dengan Tuhan dalam ibadah ritual jika ilmu ini tidak dipelajari dengan sungguh-sungguh. Nawawi menghasilkan beberapa karya tentang fiqh, salah satunya Syarh ‘Uqud al-Lujain yang merupakan karya yang paling populer di kalangan santri, karena berkaitan konsep-konsep dasar tentang kehidupan sehari-hari, ynag berkaitan tentang kehidupan suami istri. Selain itu juga terdapat kitab-kitab lain yang cukup penting adalah Syarh Sullam al-Munajah, Nihayah az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in, Tausih ‘ala Fath al-Qarib, dan Sullam an-Taufiq.[26] Kitab-kitab ini dipandang sebagai karya-karya standar ulama syafi’i yang memuat permasalahan praktis dan perilaku keseharian. Sehingga ini menjadi sebuah alasan utama mengapa fiqh menjadi pelajaran yang populer di kalangan santri pada abad XIX dan selanjutnya.
4.                  Bidang Tauhid
16201454731620145473[27]
Salah satu tema pokok kitab-kitab Nawawi adalah kemutlakan Tuhan. Dan Nawawi merupakan representasi ulama jawa abad XIX yang berupaya menyegarkan kembali ajaran Islam abad pertengahan di bidang teologi dan untuk meninggalkan kemutlakan Allah melalui konsep tawakkal bi Allah. Sehingga Nawawi dengan menganut ide Asy’arisme-nya patuit dihargai karena filosofi penghambaan kepada Tuhan mereka secara religius independen. Dan Nawawi juga melarang kaum Muslim bekerja sama dengan kaum kolonial dan menghukuminya sebagai berbuatan yang haram.[28]
b)            Mahfuz at-Tirmisi (1338-1919)
Mahfud dilahirkan di Tremas, Pacitan Jawa Timur pada tanggal 12 Jumadil Ula 1258/1868. Ketika ayahnya berada di Makkah. Ibu dan pamannya mahfuz yang memperkenalkan nilai-nilai dan praktik keagamaan kepadanya. Dan di Jawa ia belajar membaca Al-Qur’an serta ilmu agama tingkat dasar. Mahfuz mampu menghafal Al-Qur’an sebelum dia dewasa. Pada tahun 1291/1874, Saat ia berumur 6 tahun ayahnya membawanya ke Makkah. Disana ayahnya memperkenalkan beberapa kitab penting kepadanya. Mahfuz memberi sebutan ayahnya sebagai murabbi’ waruhi (pendidikanku dan jiwaku). Pada akhir tahun 1870-an, ia dan ayahnya kembali ke Jawa dan mengirimkannya kepada seorang ‘alim Jawa kenamaan, Kiai Saleh Darat untuk belajar di pesantrennya Semarang, Jawa Tengah. Dan ayahnya meninggal dunia di Makkah dan dimakamkan di Ma’la di dekat makam khadijah.[29]

Reputasi jawa Mahfud dipandang lebih besar daripada Nawawi al-Bantani, hal ini agak aneh karena buku-bukunya Nawawi lebih popular dan ada di mana-mana. Karya-karya Mahfud lebih memiliki daya tarik di kalangan mayoritas santri dikarenakan mereka mengkonsentrasikan diri pada bidang ‘ilm al-Hadits, yang menjadi perhatian santri-santri pilihan saja. Sedangkan karya Nawawi dibaca oleh semua orang. Hal ini alasan mengapa Mahfuz lebih terkenal, karena pesantren di Tremas berusia lebih tua dan lebih prestisius daripada pesantren Nawawi di Banten. Dan faktor lain juga memberikan kontribusi bagi kebesaran reputasinya, yakni spesialisasinya dalam ilmu pengetahuan yang jarang dikuasai oleh pakar-pakar pada masanya. Mahfuz dipandang sebagai al-Bukhari abad XIX, karena Al-Bukhari merupakan model favorit bagi Mahfuz bahwa dia merupakan the last link al-Bukhari pada akhir abad XIX adalah sangat dimungkinkn karena al-Bukhari adalan imaginary teacher-nya. Sebagaiamana di akhir isnad (rangkaian penyampaian hadits) dimana dia adalah salah satu seorang musnid terkemuka, Mahfuz memperoleh ijazah yang merujuk kepada kolektor hadits terkemuka imam al-Bukhari. Ijazah ini turun dari al-Bukhari hingga 23 generasi yang kemudian sampai ke tangan mahfuz.

Mahfuz adalah seorang penulis yang sangat produktif. Kitab-kitab yang berhasil ditemukan oleh keturunannya salah satunya adalah:

1.      As-Siqayah al-Maradhiyah fi Asma al-Kutub al-Fiqiyah asy-Syafi’iyah 3 bagian (kecil);

2.      Al Minhah al-Khairiyah fi Arba’in Haditsan min Ahadits Khair al-Bariyah 2 Bagian;
3.      Al-Khal’ah al-Fikriyah bi Syarh al-Minhah al-Khairiyah 13 bagian.
4.      Muhibah Dzi al-Fadhl ala Syarh Muqaddimah Bafadhal 4 Jilid besar;
5.      Kifayah al-Mustafis fima Ala min Asnid 1 bagian;
6.      Al-Fawa’id at-Tirmisiyah fi Asnaid al-Qira’at al-Asy’ariyah 1 bagian;
7.      Al-Budur al-Munir fi Qiro’ah al-Imam Ibn al-Katsir 6 bagian;
8.      Tanwir ash-Shadr fi Qira’ah al-Imam Abi Amr 8 jilid;
9.      Insyirah al-Fu’ad fi Qira’ah al-Imam Hamzah 13 Bagian;[30]

Dan banyak lagi karya-karya Mahfuz yang telah ditulisnya. Dan keseluruhan karya Mahfuz berbahasa Arab. Kitabnya Muhibah Dzi al-Fadhi ala Syarh Muqaddimah Bafadhal tentang fiqih dalam 4 jilid dengan 2339 halaman merupakan kitab yang paling popular. Kitab ini merupakan karya orisinil yang memberikan suatu komentar pokok atas karya fiqih Ibnu Hajar. Selain itu kitab lainnya juga favorit dikalangan santri dan internasional.

Guru-guru penting mahfuz selama ia belajar yang pertama adalah K.H Abd Allah ayah Mahfuz, Syaikh Saleh Darat atau Muhammad Saleh bin Umar as-Samarani, Muhammad al-Munsyawi, dan yang terakhir yang tak kalah penting adalah Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Shata, ia merupakan guru paling berpengaruh yang telah membentuk kepribadian dana masa depan mahfuz.[31] Mahfuz lebih memilih ilmu hadits daripada ilmu lainnya, karena dia menganggap bahwa para ahli dari berbagai disiplin yang memandang bahwa disiplin ilmunya-lah yang paling baik. Para mufassir memandang bahwa supremasi ilmu Al-Qur’an berada pada posisi sentral, dimana semua cabang ilmu merujuk kepadanya, dan Mahfuz berkesimpulan bahwa “ilm al atsar” atau ilmu hadits merupakan ilmu secara mutlak paling penting dari semuanya.

Jaringan Mahfuz dengan ulama pesantren sedemikian signifikan, sehingga membawanya pada posisi tertinggi dalam tradisi pesantren. Hal ini terdapat pertimbangan seperti halnya posisinya sebagai seorang guru hadis kenamaa yang berbeda dengan ulama semasanya dan watak tranmisi hadis yang sejalan dengan tradisi pesantren. Dan telah diakui bahwa kepribadian Mahfuz dan kualitasnya dalam mengajar dan menulis sangatlah luas, sehingga tidak bisa diremehkan.

4.                  Para Ahli Strategi Pesantren

a)                  Khalil Bangkalan (1819-1925)
Muhammad Khalil lahir di Bangkalan, Madura pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir 1235 H. Dan meninggal pada tanggal 29 Ramadhan 1343 H. Ayahnya berdo’a kelak dia bisa menjadi wali kenamaan seperti halnya Sunan Gunung Jati. Karena terdapat garis keturunan dari sunan Gunung jati, dan di sisi lain adanya tendensi umum di dalam komunitas pesantren bahwa walisongo merupakan model bagi mereka. Dengan semangat belajar, khalil di kenal sebagai seorang pakar tata bahasa Arab dan juga seorang wali. Keahlian dalam bidang tata bahasa Arab menarik para santri lain yang antusias untuk menguasai ilmu tersebut pada masanya. Pada dasarnya seorang santri sangatlah diperlukan dalam penguasaan dalam ilmu nahwu, sebab dengan ilmu mereka akan mampu membaca dan memahami kitab kuning secara cepat.[32]
Pada tahun 1860 Khalil menikmati atmosfer akademik di Mekkah untuk pertama kalinya. Proses belajar dilakukan di sebuah majelis terbuka dan halaqoh di masjidil Haram. Masjid ini digunakan untuk ibadah serta keperluan tranmisi intektual.[33] Dan salah satu hal signifikan yang bisa dicatat bahwa Khalil lebih tertarik pada sufi, tata bahasa, dan fikih dibawah guru utamanya yaitu Nawawi al-Bantani dan Syekh Abd.al-Karim. Dan setelah kembali dari mekkah, Khalil menjadi pengasuh Pesantren Kademangan di Bangkalan Madura. Dan Khalil merupakan kiai pesantren yang karismatik pada akhir XIX dan seperempat pertama abad XX. Dan di Jawa, dia memiliki reputasi sebagai guru tarekat.[34]
Pesantren-pesantren dan NU memiliki kesamaan latar belakang historis. NU tidak akan pernah lahir, apabila pendiri NU khususnya Hasyim Asy’ari mendapatkan persetujuan dari Khalil mendirikan organisasi baru. Hingga Hasyim melakukan istikharah berkali-kali untuk mengetahui apakah mendirikan NU sesuai untuk masa mendatang. Setelah istikharah tidak membuahkan hasil dan Hasyim merasa ragu, sehingga Hasyim meminta pendapat kepada gurunya,  Khalil, yang diyakini bisa mengetahui apa yang tidak bisa dilihat orang lain di masa depan melalui pengetahuan spiritualnya atau dalam bahasa jawa disebut dengan weruh sak durunge winara (mengetahui sesuatu yang belum terjadi). Dan ia mengutus As’ad untuk memberikan tongkat dan tasbih serta amalan-amalan kepada Hasyim. Dan Hasyim menganggap pesan terakhir ini sebagai persetujuan dan dukungan penuh untuk mendirikan organisasi ulama ini. Namun Khalil tidak berkesempatan untuk menyaksikan kelahiran organisasi ini, yang didirikan pada tahun 1926. Hal ini apabila organisasi tersebut tidak bertentangan dengan ajaran tauhid, praktik-praktik tersebut tidak perlu dihilangkan, karena bagi khalil dan para santri, tradisi lebih memberikan manfaat dari pada bahaya atau kerugian. Solidaritas, kebersamaan, serta saling menghormati adalah beberapa nilai yang diterapkan di dalam masyarakat.
Khalil merupakan seorang yang faqih yang mendalami dan mengajarkan berbagai kitab kuning dalam bidang fikih. Hal ini ditunjukkan adanya dua karya yang cukup signifikan mengenai Fikih nikah, tata bahasa, dan disamping itu sufisme melalui praktek-praktek nyata dalam keseharian. Khalil mengkhususkan menulis fikih tentang pernikahan dan bukan pada masalah-masalah lain. Dan hal ini Khalil layak untuk mendapatkan penghargaan, karena dia telah menjadi perintis yang telah membuka satu jenis pendekatan baru yaitu pendekatan tematik. Karyanya tentang pernikahan sangat populer dalam komunitas dan hingga sekarang masih digunakan dalam acara upacara pernikahan. Dan hal ini kepribadiannya Khalil lebih kuat pengaruhnya daripada ajaran-ajarannya mengenai tulisan dan karyanya tentang penampilan pidato yang lebih berkesan di kalangan santri. Terlihat dalam ajarannya yaitu unzur ma qala wa la tanzur man qala (lihatlah apa yang disampaikan seseorang, dan janganlah melihat siapa yang menyampaikan).

Sebagai seorang guru yang unik Khalil melakukan cara pendekatan terhadap murid-muridnya dengan mempengaruhi pengalaman pribadinya yang unik, dengan ditempa dari berbagai cerita, seperti halnya tradisi pesantren yang tidak pernah lepas dari cerita-cerita. Hal ini didukung bahwa hidup dalam kesederhanaan menjadi ciri lain dari pesantren salaf dan selalu ditekankan oleh komunitas pesantren. Dan tipe ajarannya dicirikan dengan informalitas proses pendidikan sebagaimana pengalamannya ketika dia menjadi seorang santri yang merupakan ciri esensial pendidikan pesantren itu sendiri.

b)                 K.H.R Asnawi Kudus (1861-1950)

K.H.R Asnawi dilahirkan di Damaran, pada tahun 1281H/1864M dan meninggal pada tahun 1959. Da memiliki julukan K.H.R atau Kiai Haji Raden, dimana yang terkhir ini menunjukkan garis keturunan keluarga aristokrat. Dia adalah keturunan ke-14 Sunan Kudus dari garis H.Mutamakin, yang merupakan seorang wali terkenal yang hidup pada masa Sultan Agung Mataram pada paruh pertama abad XVII.[35] Asnawi memperoleh pendidikan awalnya dari sang ayah, H. Abdullah Husnin. Dan Al-Qur’an merupakan pelajaran utama yang dia pelajari dari ayahnya. Ketika berumur 15 tahun, dia dikirim ke sebuah pesantren Tulungagung, Jawa Timur. Dan sebelum tinggal di Mekkah dia menemui gurunya yang lain, yaitu Kiai Haji Irsyad, di Mayong Jepara. Dan dia ingin mengasingkan diri ke Gunung Patiayam untuk bertapa. Setelah melalakukan Ibadah haji tahun 1889 dan 1894, dan tinggal selama 22 tahun di Mekkah.[36] Dan Asnawi dianggap pelajar jawa yang kritis da sukses, dan tidak diragukan lagi bahwa hubungan guru-murid dalam tradisi pesantren berjalan sangat kuat dan tidak pernah berakhir. Sehingg puisi Asnawi dalam do’a an-nikah secara antusias digunakan oleh murid-muridnya. Dan do’a Asnawi yang populer dibacakan sebagai penutup ritual yang terdiri dari 32 baris puisi yang diakhiri dengan ma.

Asnawi juga termasuk pendiri NU yang jarang diketahui oleh anggota NU itu sendiri, dan bahkan ia aktif dalam menghadiri muktamar NU di berbagai daerah sebanyak puluh kali. Hal ini bagi para santri kudus, Asnawi dikenang sebagai peletak dasar sunnisme melawan ide-ide modernisme. Namun Asnawi tidak meninggalkan banyak karya, namun beberapa kitabnya sangat signifikan dan populer di kalangan pelajar di Jawa, khususnya para pemula. Karyanya meliputi fashalatan (1954), jawab soalipun Mu’taqad yang lebih populer dengan nama Mu’taqad Seked, Syari’at Islam tentang fikih dan terjemahan Jurumiyah tentang tata bahasa Arab. Ciri-ciri tulisannya adalah menggunakan bahasa lokal dengan persuasi dan otoritas.[37]
Setelah diperkaya pengalaman belajar dan mengajar di jawa maupun Hijaz, Asnawi memutuskan untuk menjadi seorang Da’i. Dia melakukan kegiatan dakwah islamiah, baik di dalam maupun di luar kota kudus. Salah satunya adalah melakukan sholat subuh di berbagai masjid di Kudus. Hal ini merupakan cara Asnawi menganjurkan shalat berjama’ah. Asnawi juga memandang shalat tidak saja lebih religius, tetapi juga memiliki arti penting bagi kemaslahatan sosial dan ekonomi. Bahwa sholat jama’ah sendiri merupakan intergrasi antara kesalehan dengan komunitas  yang taat hukum. Dan selain itu Asnawi juga menekankan arti penting ibadah formal sebagai sarana efektif menjalin komunikasi dengan sang pencipta.

Pada abad XIX muncul para guru intelektual tradisi pesantren seperti Nawawi dan At-Tirmisi, yang memperkenalkan dan mempopulerkan pemikiran-pemikiran ulama Sunni masa pertengahan. Dan pada abad XX, dalam dunia pesantren lahir para pemimpin aktual seperti Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah, dan Asnawi. Dakwah Asnawi dapat dikelompokkan dalam da’wah bi al-maqal wa bi al-hal (dakwah dengan perkataan dan perbuatan). Dengan gaya berbicara secara langsung, korektif, keras dan persuasif. Asnawi juga seorang kiai yang “fikih minded” idenya berubah waktu ke waktu dan lebih menyesuaikan diri dengan perubahan.

Masyarakat kudus dan sekitarnya sangat patuh dan taat terhadap nasehat asnawi dalam setiap dakwahnya. Dan yang berhasil lagi adalah upayanya mengembangkan dua kelompok majelis ta’lim atau pengajuan yang cukup popular yaitu pengajian pitulasan dan pengajian sanganan. Asnawi merupakan seorang seniman yang menyusun banyak puisi berbahasa Arab dan Jawa. Dan untuk melembagakan dakwahnya Asnawi mendirikan pesantren di Bendan Kudus pada tahun 1927 dan madrasah Qudsiyah Kudus pada tahun 1919 dan keduanya masih eksis hingga saat ini. Karismatik Asnawi semakin kuat setelah ia kembali dari Mekkah, dengan bekal ilmu-ilmu keagamaan yang semakin dalam, dan pengalaman berorganisasi yang tidak di dapat oleh para kiai lainnya. Dan menurut putranya bahwa Asnawi menyembunyikan beberapa do’a rahasia yang hanya boleh digunakan oleh beberapa orang tertentu dengan sebuah ijazah. Dari buku Asnawi dijelaskan bahwa ijazah memainkan peran yang sangat penting dalam metode pengajaran Asnawi. Setidaknya terdapat dua jenis ijazah yaitu tulisan dan lisan. Dalam konteks ini dua hal berpadu tradisi intelektual pesantren, yakni hafalan dan ijazah. Bagi Asnawi, dakwah Islamiyah yang juga merupakan ajaran islam menjadi suatu misi sekaligus hobi. Asnawi mendasarkan dakwahnya sebagai dasar atas prinsip fikih yakni al-Mashlahah al-mursalah, kemanfaatan bagi masyarakat adalah lebih diutamakan.

c)                  Hasyim Asyari (1871-1947)

Lahir pada bulan Februari 1287 H/11871 M di Gedang Jombang, Jawa Timur. Hasyim menghabiskan sebagaia masa kecilnya di lingkungan santri. Ayahmya, Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah, memiliki pesantren yang besar. Hasyim dilahirkan di Pesantren Gedang selama 14 bulan hasyim berada di dalam kandungan ibunya. Bakat kepemimpinan yang dimilikinya terlihat ketika ia sebagai penengah ketika ia bermain dengan teman-temannya. Hasyim mengenayam pendidikan pesantren sejak usia dini. Di usia 15 tahun, ayahnya memberikan dasar-dasar islam, khusunya membaca dan menghafal Al-Qur’an. Dan dia suka mengembara ke berbagai pesantren. Ahkhirnya pada tahun 1891 Hasyim tiba di pesantren Siwalan Pandji Sidoharjo yang diasuh oleh Kiai Ya’qub Siwalan. Sang kiai menawarkan anaknya khadijah kepada Hasyim, dan kemudian dinikahi tahun 1892.[38] Pada tahun yang sama, impian Hasyim untuk pergi ke Mekkah, baik untuk menunaikan ibadah haji maupun belajar, menjadi kenyataan. Dan pada tahun 1893 dia kembali bersama adiknya. Di Mekkah Hasyim belajar fikih, tauhid, tafsir, tasawuf, dan ilm alah. Hal ini dia lebih tertarik pada ilmu hadis yaitu hadis bukhari dan muslim. Latar belakang pendidikan pesantren Hasyim yang cukup kuat menjadikannya mudah untuk berpartisipasi dalam aktivitas intelektual di Hijaz.
Sepulang dari Mekkah pada tahun 1899, Hasyim memutuskan untuk membangun sebuah cabang pesantren baru yaitu di daerah tebuireng pada tahun 1899. Hal ini keputusan Hasyim untuk mendirikan pesantren baru ini bukanlah tanpa maksud. Dia mempunyai tujuan untuk menyampaikan dan mengamalkan ilmu yang telah diperoleh sejauh ini, dan menggunakan pesantren sebagai sebuah agent sociael of change. Berdasarkan tujuannya ini dia dijuluki sebagai seorang “ahli strategi” dengan maksud dia berkeinginan mengubah struktur masyarakat. Dia yakin bahwa kebiasaan pesantren merupakan sebuah cerminan budaya islam dengan continuity and change-nya yang brasal dari intelektual dan kultural kaum muslim Jawa masa awal, khususnya walisongo. Hasyim adalah seorang tokoh sentral dalam komunitas pesantren, dan Hasyim bukan hanya seorang ahli dalam hal ide, namun juga cakap dalam melaksanakannya, dengan cara yang sistematis. Dengan menunjukkan kepada masyarakat model kehidupan nabi yang harus dicontoh oleh setiap muslim dengan cara memberikan nasehat dan bimbingan daripada mengambil jalan kekerasan, maka semua itu ditiru oleh Hasyim sebagai seorang pendidik yang memahami betul budaya dan psikologi komunitasnya. Karena kemajuan besar yang diciptakan oleh pesantren Hasyim, Pemerintahan Belanda akhirnya memberikan penghargaan kepadanya sebuah lencana emas dan perunggu pada tahum 1937.[39]
Keberadaan tradisi sufi ditunjukkan dengan berdirinya Sunni di Jawa munculnya gerekan Wahabi. Sejalan dengan perkembangan ini, abad XIX di Jawa merupakan sebuah periode transisi dan dialog kritis antara kaum tradisional yang diwakili oleh kelompok sufi dan santri muslim pada umumnya dan kaum modernis. Hasyim adalah kiai khas di jawa yang berupaya melakukan sintesis tradisi local dengan elemen-elemen islam, namun dia memandang bahwa prinsip-prinsip Islam tidaklah bertentangan dengan praktik-praktik local sepanjang perpaduannya memiliki landasan dan tujuan religious. Kemunculan NU sebagaimana sebuah organisasi religious dan sosial harus dilihat sebagai proses panjang yang dipacu oleh ulama jawa, dan tidak dipisahkan dari dimensi pemikiran dan perjuangan sebagaimana tersebut di atas. Kelahirannya di tangan Asy’ari boleh jadi didasarkan atas risistensi ideologi, yakni kepedulian yang mendalam dari komunitas pesantren terhadap tantangan sosioreligius dan ide-ide politik pada level mikro maupun makro. Pertarungan religious ini menjadi tantangan bagi ulama Jawa dan memberikan inspirasi kepada mereka untuk menyatukan kekuatan mereka dengan melembagakannya dalam sebuah organisasi formal yang dinamai NU. Organisasi ini di bawah kepemimpinan Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah. Latar belakang ideologis kelahiran NU tetap menjadi titik tekan, yakni untuk mempertahankan serta melindungi Sunnisme melawan setiap serangan. Sebagaimana Hasyim secara historis NU tetap konsisten melawan kaum colonial. NU merupakan Sebuah pesantren besar dan manisfestasi dari komunitas pesantren yang terorganisir, karena organisasi ini bermaksud sosioreligius maupun politik komunitas pesantren. Bahwa kelahiran NU di pesantren Tebuireng dengan secara aklamasi memilih Hasyim sebagai ra’is am pertama NU sejak tahun 1926 hingga wafat tahun 1947, merupakan indikasi lain hubungan mutual ini.
Dalam komunitas pesantren, sunnisme atau Ahl usunnah wal jama’ah lebih popular dengan nama Aswaja dalam komunitas pesantren. Konsep Aswaja ini bisa dilihat dalam anggaran dasar pertama NU dan peraturan-peraturan yang disusun pada tahun 1930-an.[40] Sejak aswaja menjadi ideologi dan tujuan dari perkumpulan ini, bisa dikatakan bahwa NU pada dasarnya mendukung dan melembagakan watak dasar santri Jawa, yang mengacu kepada pemikiran Syafi’I Asy’Ari dan Ghazali. Jenis Aswaja ini dipahami oleh NU menekankan arti penting tasamuh (toleransi). Prinsip-primsip hasyim tentang tarekat benar-benar telah membuka perselisihan baru di kalangan pemimpin tarekat. Hasyim sebagai seorang ahli strategi dan sebagai pemimpin “jalan tengah” menjembatani kedua kubu.[41] Fatwa Hasyim ini diyakini telah mengilhami para santri dalam meningkatkan perlawanan mereka terhadap kaum kolonial, setelah pasukan sekutu berhasil memaksa jepang keluar dari jawa pada tahun 1945. Dan disimpulkan bahwa Hasyim merupakan orang yang paling berpengaruh dalam komunitas pesantren dikarenakan oleh kondisi tertentu. Dengan begitu bahwa “ilmu pengetauan adalah kekuatan” dimana sudah dipakai sebagai pendekatan untuk memahami masyarakat secara lebih baik.[42] Karena pertalian simbolis, terkadang mereka sulit membedakan antara NU dan pesantren karena keduanya didirikan oleh orang yang sama. Namun pandangan ini bahwa NU merupakan sebuah pesantren besar yang sangat tepat. Bahwa NU maupun pesantren dirancang untuk melembagakan ide-ide dia dan santrinya dalam arti luas.


F.                 Kesimpulan

Upaya untuk menggambarkan lima figure utama komunitas pesantren dengan memperkenalkan riwayat hidup, termasuk latar belakang historis, peran sosio-religius dalam masyarakat, dan visi-visinya dengan pemikiran tematik telah dibahas secara instensif. Sejalan dengan apa yang ditunjukkan pada abad XV hingga XVI di jawa oleh Walisongo, yang dengan fleksibel telah mencampur elemen-elemen local maupun asing namun masih tetap mempertahankan prinsip-prinsip Islam. Dan pendekatan dan kearifan walisongo pada masa berikutnya diikutkan dalam kelembagakan dalam inti sari tradisi pesantren dengan rangkaian kesatuan historis dan ideologis. Pesantren sebagai lembaga pendidikan menjadi sngat potensial dan memiliki arti yang sangat istimewa.

Dengan landasan pengamatan yang serius terhadap sosok individual yang telah membentuk tradisi pesantren, maka karakterisstik dan tipologi dari beberapa figure dapat disimpulkan bahwa:

1.             Ulama encyclopedic dan multidisipliner yang mengkonsentrasikan diri daalam dunia ilmu, belajar, mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab yaitu Nawawi al-Bantani;

2.             Ahli dengan satu spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan islam. Karena keahlian mereka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan, pesantren mereka terkadang dinamai sesuai dengan spesialisasi mereka yaitu Mahfuz at-Tarmisi yang dikenal sebagai ‘allamah, al-muhaddits, serta al-musnid dan terkadang dipandang sebagai Al-bukhari abad XIX;

3.             Kiai karismatik yang memperoleh karismatinya ilmu pengetahuan keagamaan khususnya dari sufismnya, yaitu Khalil Bangkalan. Menarik untuk dicermati bahwa dia bukanlah seorang guru dari kelompok tarekat mana pun di Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi pesantren guru spiritual yang paling dihormati tidaklah ditentukan oleh status atau kesuksesan dalam organisasi tarekat;
4.             Kiai Keliling, yang perhatiannya dan keterlibatannya mereka terbesar adalah berinteraksi dan keterlibatan dengan public dan menyampaikan ilmunya bersamaan dengan misi sunnisme atau aswaja melalui bahasa retorikal yang efektif. Asnawi Kudus termasuk kategori ini dan menempatkan kehidupan masyarakat jawa dengan mengkokohkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang berpengaruh dikalangan santri;
5.            “Kiai pergerakan” seperti Hasyim Asy’ari, pemimpin yang paling menonjol karena keunikan posisinya dengan peran san skill kepemimpinannya yang luar biasa, baik dalam masyarakat maupun organisasi yang didirikannya serta kedalaman ilmu pengetahuan keagamaan. Dan beliau adalah orang yang paling disegani dalam komunitas pesantren.

G.           Daftar Pustaka
Mas’ud, Abdurrahman. Dari haramain ke nusantara: Jejak Intelektual Arsitektur Pesantren. Jakarta: Kencana. 2006.
Mas’ud, Abdurrahman.  Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: Lkis. 2004.


[1] Abdurrahman mas’ud,  Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi  (Yogyakarta: Lkis, 2004),  hlm.1.
[2] Ibid.,  hlm 4.
[3] Abdurrahman mas’ud,  Intelektual Pesantren…, hlm. 8.
[4] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramai ke Nusantara : Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 13.
[5] Ibid., hlm. 27.
[6]  Abdurrahman mas’ud,  Intelektual Pesantren, hlm. 30.
[7] QS. Al-Mujadalah (58): 11.
[8] QS. Al-‘Alaq (96): 1-5.
[9] Abdurrahman mas’ud,  Intelektual Pesantren…, hlm. 38.
[10] Ibid. hlm.. 43.
[11] Ibid. hlm. 46..
[12] Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren…, hlm. 53.
[13] Ibid.  hlm. 59.
[14]Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramai ke nusantara …, 2006, hlm. 83.
[15] Ibid. hlm 95.
[16] Abdurrahman mas’ud, Intelektual Pesantren, hlm. 97.
[17] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramai ke Nusantara , hlm. 124.
[18] Ibid, hlm. 128-155.                              
[19] Abdurrahman mas’ud, Intelektual Pesantren, hlm. 113.
[20] Ibid., hlm.114.
[21] Ibid., hlm.117.
[22] Ibid., hlm.119.
[23] Ibid., hlm.121.
[24] Ibid., hlm.123.
[25] Ibid., hlm.126.
[26] Ibid., hlm.127.
[27] Ibid., hlm.130.
[28] Ibid., hlm.132
[29] Ibid, hlm. 160.
[30] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramai ke Nusantara , hlm. 165.
[31] Ibid. hlm. 159.
[32] Ibid. hlm. 157-158.
[33] Ibid. hlm. 160.
[34] Ibid. hlm. 161.
[35] Ibid. hlm. 178.
[36] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramai ke Nusantara , hlm. 208.
[37] Ibid. hlm. 213.
[38] Abdurrahman Mas’ud,  Intelektual Pesantren, hlm. 197-198.
[39] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramai ke Nusantara, hlm. 242.
[40] Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, hlm. 221.
[41] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramai ke Nusantara , hlm. 260.
[42] Ibid. hlm. 267.
 



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML