A.
LATAR
BELAKANG
Perkembangan
sebuah perpustakaan memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah manusia, karena
perpustakaan merupakan produk manusia[1].
Hal ini menyebabkan perkembangan sebuah perpustakaan tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan masyarakat yang ada pada masa itu. Tujuan bedirinya sebuah
perpustakaan juga selalu identik dengan tujuan dari masyarakat. Karenanya,
masyarakat harus berusaha sekuat tenaga untuk memelihara dan menjaganya.
Selaras
dengan sejarah perpustakaan yang terkait dengan masyarakat, perpustakaan terus
berkembang dari masa ke masa. Perjalanan perpustakaan terlihat mulai dari masa
Persia, Yunani, dan Islam. Keberadaan perpustakaan pada masa itu bisa dikatakan
sebagai titik balik dari kebangkitan ilmu dan puncak kejayaan suatu masyarakat
atau bangsa. Begitu juga halnya dengan pembangunan dan kejayaan Islam yang
sangat dipengaruhi oleh perpustakaan.
Perpustakaan
yang dibangun pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid menjadi penentu
pembentukan keilmuwan dalam ranah Islam. Karena, seperti kita ketahui bersama
sebelum datangnya Islam di Jazirah Arab, bangsa Arab belum memiliki budaya
membaca, menulis, atau bahkan terpikir untuk memiliki perpustakaan. Kedatangan
Islam rupanya dapat merubah cara berfikir bangsa Arab pada masa itu. Hal ini
diperkuat dengan bertemunya kebudayaan lain di luar Jazirah Arab, Persia Kuno, Yunani Kuno, dan Mesir Kuno
adalah ragam peradaban besar yang lahir di sekitar Jazirah Arab. Akulturasi yang
terjadi dari peradaban yang ada disekitar Jazirah Arab inilah yang kemudian
memberikan semangat kepada umat Islam yang memang didominasi oleh bangsa Arab
untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan sarana penunjangnya. Berawal
dari sinilah lahirlah Bayt al-Hikmah, suatu gabungan lembaga riset,
perpustakaan, dan biro penerjemahan[2].
B.
LANDASAN
TEORI
1.
Akulturasi
Budaya
Akulturasi dapat didefinisikan sebagai proses sosial yang
timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan
dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga
unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian itu sendiri.
Terdapat perbedaan
antara bagian kebudayaan yang sukar berubah dan terpengaruh oleh unsur-unsur
kebudayaan asing (covert culture), dengan bagian kebudayaan yang mudah
berubah dan terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing (overt culture).
Covert culture misalnya: 1) sistem nilai-nilai budaya, 2)
keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, 3) beberapa adat yang sudah
dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, dan
4) beberapa adat yang mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat.
Sedangkan overt culture misalnya kebudayaan fisik, seperti alat-alat dan
benda-benda yang berguna, tetapi juga ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup,
dan rekreasi yang berguna dan memberi kenyamanan.
2.
Munculnya
Perpustakaan Islam
Sebagian ahli sejarah telah membagi
sejarah Islam ke dalam sepuluh periode. Periode ini berawal dari periode Nabi
Muhammad SAW, kekhalifahan, hingga pasca-Perang Dunia I, adapun waktunya mulai
571 M hingga 1258 M[3].
Menurut padangan perpustakaan, masa itu terbagi dalam tiga masa, yaitu masa
perintisan perpustakaan, masa pembentukan dan pembinaan perpustakaan, dan
kemunduran dan kehancuran perpustakaan[4].
Adapun urainnya adalah sebagai berikut:
a. Masa
perintisan perpustakaan[5]
Pada masa ini, yaitu pada masa
Rasulullah dan para sahabatnya, belum ada pengertian perpustakaan sebagaimana
kita kenal sekarang ini. Namun demikian, atmosfer untuk melahirkan perpustakaan
telah ada. Hal ini nampak pada hal berikut:
i.
Wahyu Allah yang pertama kali diturunkan
kepada Rasulullah SAW adalah menyuruh umat Islam untuk membaca (iqra)
ii. Rasulullah
mengangkat para sahabatnya, yaitu Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, dan Khalid
bin Walid sebagai penulis Al-Quran
iii. Perintah
Rasulullah kepada tawanan Perang Badar untuk mengajari anak-anak Muslim untuk
menulis dan membaca
iv. Pada
masa sahabat Nabi SAW, muncullah keinginan para sahabat untuk menulis Al-Quran
dalm bentuk mushaf pribadi. Sehingga pada masa itu dikenal Mushaf Ubay bin
Ka’ab, Mushaf Ibnu Mas’ud, Mushaf Ibn Abbas, dan pada kahirnya melahirkan
Mushaf Ustmani. Kemudian Mushaf itu digandakan dan disebarkan ke Madinah,
Makkah, Kuffah, Basrah, dan Damaskus. Mushaf tersebut dijadikan referensi oleh
umat Islam di kota tersebut dan kemudian mendorong masyarakat muslim untuk
gemar menulis dan membaca yang semuanya itu merupakan spirit perpustakaan.
b. Masa
pembentukan dan pembinaan perpustakaan
Tardapat beberapa hal yang
melatarbelakangi pembentukan dan pembinaan perpustakaan, selain peristiwa yang
terjadi pada masa perintisan. Adapun peristiwanya adalah sebagai berikut:
i.
Setelah Al-Quran dikodifikasikan dalam
bentuk mushaf, timbul keingingan masyarakat muslim, terutama yang hidup jauh di
masa Nabi SAW untuk memahami Al-Quran dan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan
yang dipahami dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW. Kemudian muncullah
keinginan dari sebagian ulama untuk menghimpun sabda-sabda Rasul, walaupun pada
awalnya mendapat tentangan dari ulama laiannya. Penentangan ini dikarenakan mereka
berpegang teguh pada hadis yang melarang penulisan yang bersumber dari Rasul
selain Al-Quran. Namun, pada masa Umar bun Abdul Aziz (wafat 672 M), dengan
otoritas yang dimilikinya ia memerintah Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri
al-Madani (wafat 695 M) untuk menghimpun hadis dan menulisnya dalam buku. Dia
beralasan bahwa larangan Rasul menghimpun hadis dikarenakan adanya kekhawatiran
akan tercampurnya Al-Quran dengan hadis. Padahal, pada waktu ia memerintahkan
menulis hadis sudah tidak ada lagi kekhawatiran, dikarenakan Al-Quran sudah
dikodifikasikan ke dalam bentuk mushaf. Selanjutnya, hadis-hadis yang telah
ditulis disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri untuk dijadikan referensi.
ii. Kepeloporan
Ibn Syihab az-Zuhri diikuti oleh ulama-ulama lainnya. Pada masa itu hadis
merupakan primadona, sehingga seorang ahli hadis rela untuk melakukan
perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan demi dapat memperoleh sebuah hadis
yang kemudian dihimpun dalam koleksi mereka masing-masing.
iii. Gerakan
penerjemahan yang dipelopori oleh Khalifah al-Mansur dari Daulah Abbasiyah
telah membantu dalam penambahan jumlah koleksi pustaka pada masa itu. Dia
mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam untuk menerjemahkan
karya-karya berbahasa Persia dalam bidang astrologi, buku tentang
ketatanegaraan dan politik, serta moral (Kalila
wa Dimna dan Sindhid) ke dalam
bahasa Arab. Selain itu diterjemahkan pula manuskrip berbahasa Yunani, seperti Logika kaya Aristoteles, Almagest karya Ptolemy, Aritmethic karya Nicomachus dari Gerasa,
dan Geometri karya Euclid. Pada akhir
proses penerjemahan terkumpullah bahan rujukan di kalanagan umat Islam yang
cukup banyak, baik bahan rujukan umum maupun bahan rujukan Islam.
Bahan pustaka yang sangat banyak
terkumpul hasil penerjemahan, mushaf Al-Quran, maupun hadis telah mendorong
penguasa pada waktu itu untuk mendirikan sebuah perpustakaan. Baitul Hikmah yang kemudian berubah nama
menjadi Bait al-Hikmah menjadi
perpustakaan yang pertama kali didirikan saat itu. perpustakaan ini secara
lebih maju digunakan sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat
dari Persia, Bizantium, Etiopia, dan India. Kemudian muncullah tiga jenis
perpustakaan pada waktu itu, yaitu perpustakaan umum (Baitul Hikmah,
Al-Haidariyah di An-Najaf, Ibnu Sawwar di Basrah, Sabur, Perpustakaan
Kitab-Kitab Wakaf di Masjid Az-Zaidi, Darul Hikmah di Kairo, dan perpustakaan
sekolah), perpustakaan semi umum (Perpustakaan An-Nashir Li Dinillah, Al-Muzta’shim
Billah, dan Khalifah-Khalifah Fatimah), serta perpustakaan pribadi
(perpustakaan Al-Fathu Ibnu Haqam, Hunain Ibnu Ishaq, Ibnul Harsyab,
Al-Muwaffaq Ibnul Mathran, Al-Mubasysyir Ibnu Fatik, dan Jamaluddin Al-Qifthi)[6].
Menurut George Makdisi terdapat
enam istilah yang digunakan secara terpadu untuk menggambarkan perpustakaan.
Tiga syarat pertama berupa bayt
(kamar/ruang), khizanah (lemari), dan
dar (rumah). Kemudian tiga syarat
kedua berupa hikmah (kebijakan), ‘ilm (ilmu pengetahuan), dan kutub (buku-buku). Kata-kata dan konsept
di atas saling berpadu, sehingga membentuk tujuh isitilah yang menggambarkan
perpustakaan, yaitu bayt al-hikmah, khizanah al-hikmah, dar al-hikmah, dar al-‘ilm, dar al-kutub, bayt al-kutub, dan khizanah
al-kutub. Dapat pula ditambahkan istilah lainnya seperti bayt al-‘ilm dan al-khizanah al-‘ilmiyah. Kombinasi dari semua kata di atas telah
digunakan dan sering dipertukarkan istilah-istilahnya[7].
Perpustakaan yang ada pada masa
awal kebangkitan Islam sampai pada puncak kejayaannya menunjukkan suatu peran
yang sangat besar dalam pendidikan masyarakat. Bukan hanya ilmu-ilmu keagamaan
yang dikelola, melainkan perpustakaan pada masa itu mengelola pustaka segala
disiplin ilmu yang ada. Adapun peran perpustakaan pada peradaban Islam, yaitu
pusat belajar (learning center),
pusat penelitian, pusat penerjemahan, dan pusat penyalinan buku[8].
c. Masa
kemunduran dan kehancuran perpustakaan
Tidak ada suatu yang abadi di
dunia ini, bahkan kemajuan dan perkembangan yang luar biasa yang dicapai umat
Muslim lambat laun juga mengalami kemunduran. Banyak faktor yang menjadi
penyebab kemunduran perpustakaan-perpustakaan Islam. Hal ini berangkat adanya persoalan-persoalan internal dan eksternal
yang terjadi di kalangan umat Islam dan luar umat Islam yang
menjadi penyebab kemunduran dan kehancuran perpustakaan-perpustakaan di dunia
Islam. Berikut ini faktor-faktor yang menjadi penyebab dari
kemunduran perpustakaan, yaitu[9]:
i.
Serangan Tentara Salib
Perang Salib merupakan peperangan yang terjadi antara orang-orang Kristen dan umat Islam. Peperangan ini terjadi pada masa
kekuasaan Daulah Abbasiyah ke-2. Kekuasaan Abbasiyah terbagi dari tiga periode
masa, masa kejayaan Islam (132-232 H), masa kerajaan-kerajaan kecil (232-590
H), dan masa kemunduran dan kehancuran (590-656 H), hal ini ditandai hancurnya
kota Bagdad sebagai simbol kekuasaan Abbasiyah. Pada periode ini tercatat tiga
golongan besar, yaitu kaum Turki, Bani Buwaih, dan Bani Saljuk. Pada masa ini tentara Salib mulai memasuki negeri-negeri Muslim, yaitu pada masa kekuasaan dipegang
oleh Bani Saljuk. Perang Salib ini bermula dari
penyerbuan tentara Romawi dan daerah lain yang
dipimpin oleh Raja Armanus (Raja Romawi) ke wilayah Muslim. Pasukan muslim
berhasil menghalau tentara Romawi dan melawan raja Romawi di Zahwah pada tahun
1069. Kekalahan inilah yang memicu terjadinya perang Salib, sehingga menimbulkan kedengkian yang mendalam
di kalangan orang kristen dan bermaksud akan membalasnya. Kalangan ini mendapat tanggapan positif dari kaum Kristen dan para pendeta. Perang salib ini terjadi
pada beberapa periode, yang dimulai sejak pemerintahan Bani Saljuk, Dinasti
Fatimiyyah, hingga pemerintahan Ayyubiyah.
Menurut al-Sibai (1992) bahwa perang Salib telah membawa petaka besar yang membuat
perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam menjadi hancur. Kehilangan buku-buku
akibat serangan dan pembakaran yang dilakukan oleh tentara salib. Meskipun
demikian, tidak semua koleksi-koleksi perpustakaan di wilayah Muslim tersebut
dihancurkan.
ii.
Invansi Pasukan Tartar terhadap Negeri-Negeri Islam
Selain perang Salib, juga terjadi akibat invansi bangsa mongol atau pasukan Tartar ke wilayah-wilayah Islam. penyerangan ini merupakan
salah satu penyebab utama kehancuran perpustakaan. Penyerangannya ini dilakukan
dengan membunuh besar-besaran terhadap orang-orang yang ditemui, baik wanita
atau anak-anak. Hal ini berlangsung selama 40 hari hingga tak ada seorang pun
yang selamat. Selain itu juga melakukan penghancuran masjid, sekolah-sekolah, dan lembaga keilmuan lainnya. Seraca khusus, akibat
pengancurrkembangan perpustakaan dituturkan oleh para sejarawan. Kebrutalan
tentara Mongol dalam mengancurkan perpustakaan di Bagdad, sebelum tentara Mongol menghancurkan terlebih dahulu menghancurkan perpustakaan. Selain itu bagdad juga menyerang
pasukan Tartar untuk menyerang perpustakaan-perpustakaan di berbagai kota. Hal
ini disertai dengan melakukan penghancuran dan pembakaran terhadap isi
perpustakaan dan sebagian dibawa ke negara mereka.
iii.
Konflik Internal di Kalangan Umat Muslim
Selain karena faktor dari luar sebagian sudah
dijelaskan di atas, kini kehancuran perpustakaan di dunia islam juga
diakibatkan oleh perusakan dan kehancuran dari ketegangan yang terjadi di
kalangan masyarakat Islam sendiri. Hal ini terjadi ketika Khalifah Al-Makmun
(218 H) meninggal dan digantikan oleh khalifah yang tidak memiliki jiwa yang
kuat. Hal ini terjadi arena adanya unsur politik, golongan atau sentimen
aliran. Sehingga terjadilah penyeragan khalifah Fatimiyah di Kairo
menghancurkan perpusatakaan al-Hikmah dengan membuang buku-bukunya ke sungai
Nil, dan merobek sampul-sampul buku untuk dijadikan sandal yang ia pakai.
Selain itu manuskrip juga dibakar. Hal ini koleksi kurang lebih berjumlah
2.000.000 buku dari kalangan berbagai bidang ilmu pengetahuan juga tidak terlepas
dari penghancuran umat Islam sendiri.
iv.
Persoalan Pribadi atau Keluarga
Hal ini terjadi kemunduran perpusatkaan Islam, terutama di perpustakaan khusus (pribadi).
Dikalangan umat islam banyak yang gemar membaca buku. Sehingga sampai banyak
istrinya yang merasa diabaikan dan merasa cemburu. Sampai-sampai buku yang ada
di perpustakaan dilempar ke kolam besar yang berada di rumah para umat Islam. Dengan demikian nasib tragis yang dialami
perpustakaan di dunia Islam. sampai sekarang
perkembangan perpustakaan di dunia islam belum menunjukkan hal yang
menggembirakan.
C.
PEMBAHASAN
Dari abad kedelapan hingga akhir abad
keempat belas, ilmu pengetahuan Arab (Islam) merupakan sains yang paling maju di dunia,
yang jauh melampaui Barat dan Cina”[10].
Terlihat pada peradaban Islam yang
sempat menunjukkan prestasinya dalam kancah keilmuan dunia. Namun, untuk sampai
dengan pencapaian prestasi besar ini, umat Islam melalui proses panjang yang
menarik dan bertemu dengan beragam kebudayaan dan peradaban di luar dirinya.
Selain
itu terdapat sejumlah perwujudan
historis yang tercermin dalam sejarah keilmuan Islam, karena Islam datang
kepada bangsa Arab, bangsa yang ketika itu disebut sebagai bangsa “terbelakang”
jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya. Kelahiran
Muhammad SAW pada abad keenam masehi di tanah Arab, membuka babak sejarah
bangsa Arab secara utuh dan signifikan. Keterbelakangan bangsa Arab saat itu menurut Ibnu Khaldun disebabkan kondisi
geografis wilayah yang didominasi padang pasir dari pada tanah-tanah subur[11].
Solidaritas kesukuan (‘ashabiyah) ini menciptakan ragam suku yang
merebutkan wilayah-wilayah
yang ia tempati. Agama Islam menjadi segmen yang
mengikat pada solidaritas kesukuan yang tercerai berai.
Paduan
antara solidaritas agama dan solidaritas kesukuan dikatakan Ibnu Khaldun
mendahsyatkan dan memberikan sebab tentang cepat dan luasnya
penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh orang-orang Arab Islam dalam abad ke
tujuh masehi[12].
Bangsa Arab yang hakikatnya adalah Bangsa Badui bukan tipikal bangsa yang
memiliki sejarah mencaplok atau menjajah bangsa lain[13].
Atas dasar dorongan dakwah dan menyebarkan agama Islam, bangsa Arab kemudian mempersatukan dan tidak akan terpisah dalam kelompok tertentu.
Terdorongnya urbanisasi dan perkembangan ekonomi yang
semakin kuat dan bersamaan dengan hal itu, akulturasi budaya antara bangsa Arab
dengan bangsa-bangsa dalam wilayah ekspansinya terjalin. Pada
saat itu, di sekitar Jazirah Arabia, terdapat dua kekaisaran besar, yakni
Kekaisaran Sassaniah di Persia dan Kekaisaran Romawi di Bizantium (sekarang
Turki)[14].
Melalui jalur kekaisaran inilah, umat Islam memformulasikan keilmuannya.
Bersamaan dengan penaklukan umat Islam pada kekaisaran turut dikuasai pula
sejumlah akademi-akademi penting di dalamnya[15].
Pengaruh keilmuan terbesar pada umat Islam disumbangkan oleh Akademi
Judinshapur di Persia Selatan. Akademi ini adalah pusat keilmuan Persia,
Yunani, dan Suryani. Judinshapur mencapai puncak kejayaannya sekitar
pertengahan abad ke enam masehi selama pemerintahan Kaisar Anusyirwan.[16]
Informasi paling luas pada proses
transformasi keilmuan dalam sejarah Islam memang selalu dikaitkan dengan Persia
dan selalu diragukan memiliki hubungan dengan Yunani. Keraguan ini yang sering
mengeliminir peran Islam dalam peta keilmuan, karena Yunani dianggap pemain
utama keilmuan sejak zaman dahulu kala dan pondasi utama kemoderenan yang
terjadi di Barat saat ini.
Hubungan Islam dengan
pemikir-pemikir besar Yunani seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles memang
tidak bersifat langsung. Transformasi pemikir-pemikir besar ini telah tereduksi
atau mungkin telah terelaborasi dalam proses hellenisasi yang diepidemikan Alexander The Great. Fase Hellenisme
ialah fase yang pemikirannya hanya dimiliki oleh orang-orang Yunani, Alexander The Great menghellenisasi
wilayah-wilayah ekspansinya, sehingga muncul istilah fase Hellenisme Romawi
(Greko-Romawi). Fase ini dimaksudkan, semua pemikiran filsafat Yunani yang ada
pada masa kerajaan Romawi. Fase ini terus membaur dengan pemikiran Romawi dan berakhir
abad keempat sebelum Masehi sampai pertengahan abad keenam Masehi di Bizantium
dan Roma, atau sampai abad kedelapan Masehi di Syria dan Irak.
Kondisi hellenisasi ini tentu saja bukan atas kemauan
kaum muslim, beberapa abad sebelum kaum muslim mempunyai kontak dengan budaya
Yunani yang terhellenisasi tersebut, nilai-nilai hellenistik telah diserap,
diubah dan semi-dibuang oleh ajaran Kristen. Akibatnya,
terdapat asumsi bahwa tema-tema ilmu pengetahuan Yunani yang sampai pada umat
Islam telah tereduksi. Tetapi, asumsi ini terbantahkan dengan sendirinya,
karena ditemukannya beberapa fakta penting. Yegane Shayegan menyebutkan
transmisi pemikiran Yunani ke dunia Islam adalah sebuah proses yang mutlak
harus terjadi. Karena ide-ide Yunani ini dipinggirkan di wilayahnya sendiri
oleh Kristenisasi Imperium Romawi.[17]
Kristenisasi
dunia hellenistik berimplikasi pada pelarangan interpretasi yang melawan
makna-makna tekstual pastor dan Kristen.Larangan ini tidak hanya terbatas pada
penafsiran yang dilakukan terhadap kitab suci, tetapi juga pada teks-teks
gnostik dan para penafsir Neoplatonis. Akibatnya, beberapa ilmuwan-ilmuwan
Yunani terpaksa menandatangani persetujuan damai dengan Kaisar agar mereka
dapat bertahan hidup. Maka, diupayakanlah penyelarasan pemikiran-pemikiran
filosof-filosof Yunani seperti Aristoteles, Plato dengan ajaran-ajaran
Kristiani.
Hubungan ini dideskripsikan Yegane
melalui perjalanan Ammonius yang kemudian me-neoplatonisasi-kan pemikiran
Aristoteles[18].
Upaya Ammonius pada penyelarasan Plato dan Aristoteles inilah yang kemudian
diadaptasi pemikir-pemikir muslim seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Tranformasi
bentuk Ammonian ini dengan izin kaisar menjadi pembelajaran akademi-akademi
Athena di bawah pengawasan pastor-pastor Kristen. Artinya, proses Kristenisasi
pada pemikiran Yunani atau Hellenisasi ide-ide Yunani adalah sebuah proses yang
nyata terjadi dan terus berkembang sampai kemudian seluruh akademi Athena
ditutup oleh dekrit Kaisar Justinian.[19]
Dengan demikian, dapat dipastikan
ide-ide filosof-filosof Yunani baik yang sampai ke Barat maupun ke dalam
wilayah Islam seluruhnya sudah tereduksi dari tema sesungguhnya. Kecuali jika
merujuk pada naskah-naskah asli yang ditulis Aristoteles, Plato, dan lainnya.
Ibn Nadim, seorang penjual buku yang mengkatalogisasi buku-buku yang terdapat
dalam perpustakaan Bayt al-Hikmah. Di dalam catatannya, ditemukan
karya-karya Plato, Aristoteles, Euclides, Galen, dan Ptolemeus. Jadi,
kemungkinan besar umat Islam pun telah bersinggungan dengan karya-karya pemikir
Yunani secara langsung. Fakta
lainnya yang juga perlu dipertimbangkan adalah kenyataan bahwa selama menetap
di Persia dan kemudian dikuasai umat Islam, para sarjana Yunani ini kemungkinan
besar mengajar di sejumlah akademi Persia. Keputusan mereka mengajar bergantung
pada bahasa yang dipakai pada akademi-akademi ini, pada tahap ini penguasaan
bahasa Yunani, Suryani, dan Pahlavi menjadi penting.
Oleh
karena itu, pencapaian keilmuan Islam disepakati oleh para sejarahwan baru
berlangsung di masa Bani Abbasiyah khususnya dalam pemerintahan Khalifah Harun
al-Rasyid dan Khalifah al-Ma’mun. Diperkirakan lebih dari satu abad (632-754
M), umat Islam beradaptasi dengan setiap kebudayaan di luar budaya
dirinya.Adaptasi ini selain meliputi adaptasi bahasa juga adaptasi dalam bentuk
tata administrasi pemerintahan, manajemen Negara, bahkan sistem Monarki yang
disadur oleh Mu’awiyah diduga berasal dari konsep kerajaan yang berkembang di
Romawi[20].
Pada
proses adaptasi inilah, bahasa Arab kemudian diinternasionalisasi dan ilmu
pengetahuan Yunani dan Persia merambah dalam peradaban dan kebudayaan Islam.
Menariknya, ragam masyarakat, budaya dan peradaban yang berbeda-beda tersebut
kemudian teridentifikasi tidak berdasarkan ras dan suku melainkan bersatu,
berjalin dan berkelindan dalam satu wadah, yakni Islam.
Meski akulturasi budaya telah terjadi sejak masa Khilafah
Rasyidah, tetapi transformasi keilmuan Yunani, Persia,
dan India secara mufakat diakui oleh berbagai kalangan
dimulai di masa Abbasiyah. Transformasi pengetahuan Yunani dan
Persia direspon dengan didirikannya
Bayt al-Hikmah.
Bayt al-Hikmah adalah simbol
perubahan peradaban dari Arab Islam yang teralienasi menjadi Islam yang
mendunia. Bayt al-Hikmah adalah
perpustakaan fenomenal yang perannya tidak hanya penyedia koleksi, tetapi juga
sumber informasi. Sumber informasi disini tidak terbatas hanya pada pemberian
informasi yang berkaitan dengan koleksi perpustakaan. Melainkan juga pusat
penerjemahan, halaqah keilmuan dan tempat diskusi banyak sarjana dari
beragam Negara[21].
Peran Bayt al-Hikmah pada masa itu dapat disejajarkan dengan akademi-akademi
Persia. Bahkan dalam prosesnya kemudian Bayt
al-Hikmah melebihi akademi-akademi manapun di belahan dunia dan menjadi
persinggahan banyak ilmuwan untuk menimba ilmu dan informasi. Seluruh kegiatan
yang dilaksanakan Bayt al-Hikmah
secara langsung berada dalam kontrol Khalifah, penguasa tertinggi Negara. Khalifah
mampu mendanai setiap proposal yang
diajukan ilmuwan-ilmuwan asalkan dapat berkontribusi bagi perkembangan Bayt al-Hikmah. Insentif besar ini tentu
saja menggiurkan para ilmuwan, memotivasi mereka untuk melakukan rihlah
‘ilmiyyah, memburu manuskrip-manuskrip, menerjemahkan, mengomentari (mensyarah),
atau bahkan menulis karya-karya orisinal. Pengawasan menyeluruh Khalifah ini
digambarkan dalam bentuk bangunan Bayt
al-Hikmah yang terdiri dari ruang bawah tanah yang terhubung dengan ruang
baca Khalifah.
Hebatnya, Bayt
al-Hikmah tidak hanya menyediakan ruang-ruang baca, tetapi juga ruang-ruang
diskusi, berikut tempat tinggal bagi orang-orang yang hendak belajar di Bayt al-Hikmah baik secara otodidak atau
berguru kepada ilmuwan-ilmuwan yang sengaja ditempatkan Khalifah di Bayt al-Hikmah.
Peran pada tradisi ilmiah Islam ini
memudahkan transmisi pengetahuan Persia dan Yunani. Bahwa Khalifah membentuk tim penerjemah (the
translator) untuk semua naskah, manuskrip dan buku-buku non-Arab. The
translator adalah kaum elit di Bayt
al-Hikmah, mereka difasilitasi, didanai dan disejahterakan pemerintah. The
translator adalah orang-orang terpilih yang memiliki kapabilitas keilmuan
memadai, tokoh-tokoh penerjemah ini didominasi oleh segelintir non-muslim yang
memiliki hubungan kuat dengan Yunani dan Persia. Meski juga terdapat beberapa
ilmuwan muslim tetapi biasanya mereka berada di bawah pengawasan ilmuwan-ilmuwan
profesional yang tidak lain merupakan sarjana-sarjana yang didatangkan dari
akademi-akademi di luar Bayt al-Hikmah.
Adapun penerjemah-penerjemah muslim yang berkarir dari
penerjemah biasa dan kemudian memainkan peran dalam peta keilmuan Islam,
disebutkan Rosenthal, diantaranya adalah al-Kindi (w. 870 M), al-Sarakhsi (w. 899 M), al-Farabi (w. 950 M), Abu Sulaiman al-Manthiqi al-Sijistani (w. 985 M) dan al-‘Amiri (w. 992 M)[22].
Sebelum gerakan penerjemahan
digalakkan Bayt al-Hikmah, sebenarnya
sudah dilaksanakan penerjemahan-penerjemahan dengan translator-translator yang
ditunjuk langsung oleh Khalifah. Sedangkan penerjemahan yang dilakukan Bayt al-Hikmah bersifat massal,
melembaga, terorganisir, dan terstruktur sehingga memberi efek besar dan
bersifat umum bagi siapapun yang berminat mengkaji ilmu pengetahuan. Catatan-catatan
penting transmisi Yunani dan Persia ke dalam Islam pra Bayt al-Hikmah misalnya ditunjukkan oleh
Khalid ibn Yazid ibn Mu’awiyah (683-685 M). Kemudian dilanjutkan oleh Marwan ibn Hakam yang menerjemahkan
kitab Ahran bin Eunqas. Penerjemahan buku Ahran ini dilakukan oleh Masarjawaih, seorang Yahudi yang memiliki kemampuan
berbahasa Yunani, Suryani, dan Arab[23].
Berdasarkan informasi Muhammad Mahir, seorang doktor bidang Perpustakaan Islam, disebutkan bahwa
perpustakaan umum sederhana telah dimulai sejak zaman ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz. Perpustakaan
sederhana ini diletakkan ‘Umar di musholla, atau tempat ibadah dengan
buku-buku yang masih sangat sedikit jumlahnya. Buku-buku yang dimuat di
Perpustakaan tersebut diperkirakan merupakan buku-buku yang sudah diterjemahkan
oleh Khalifah-khalifah sebelumnya[24].
perpustakaan memainkan peran besar
dalam proses transfer ilmu pengetahuan Yunani, Persia, dan Suryani. Semakin
baik pengelolaan perpustakaan semakin besar pula efeknya bagi peradaban
masyarakat dan bangsa.sebaliknya semakin kecil peran yang dimainkan
perpustakaan semakin minim pula hasil yang didapatkan. Seandainya saja, umat
Islam tidak secara total menciptakan perpustakaan Bayt al-Hikmah, mungkin keemasan Islam pun tidak akan pernah ada.
Jika, perpustakaan-perpustakaan hanya monopoli kaum elit atau Khalifah saja,
praktis tidak ada komunikasi antara pengetahuan Yunani, Persia, dan Suryani
dengan umat Islam.
Pada konteks Bayt al-Hikmah, hal ini bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
perpustakaan ini menjadi besar dan fenomenal. Faktor-faktor tersebut adalah dorongan
agama, apresiasi masyarakat terhadap ilmu dan sokongan dana dan perlindungan
serta dukungan yang sangat dermawan dari para penguasa dan orang-orang kaya
terhadap kegiatan ilmiah.
D.
KESIMPULAN
Berdirinya
perpustakaan Islam merupakan tanda kejayaan dari perkembangan keilmuwan Islam. Keberadaan
perpustakaan Islam muncul dari hasil akulturasi dari hubungan islam dengan
pemikir-pemikir besar Yunani seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan pemikir
lainnya. Sehingga terdapat sebuah proses transformasi keilmuan dalam sejarah
islam yang dikaitkan dengan Persia dan Yunani. Karena keilmuwan yunani menjadi
salah satu pelopor terbentuknya sebuah akulturasi budaya dalam mengembangkan
keilmuwan Islam, sehingga muncullah sebuah pendidikan yang ditandai dengan
terbentuknya perpustakaan Islam. Perpustakaan ini dinamakan Bayt al-Hikmah. Perkembangan keilmuwan Islam
ini disepakati oleh para sejawaran baru dan berlangsung di masa Abbasiyah dan
khususnya dalam pemerintahan Harun ar-Rasyid dan Khalifah al-Ma’mun.
Keberlangsungan perpustakaan pada masa Islam
pun tidak lupUt dari sebuah kemunduran dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Salah satu yang menjadi faktor utama dari kemunduran keilmuwan Islam adalah
terjadinya Perang Salib. Dimana perang itu mengakibatkan perpustakaan-perpustakaan
di dunia Islam menjadi hancur dan kehilangan buku-buku akibat serangan dan
pembakaran yang dilakukan oleh tentara Salib. Adapun faktor lainnya adalah
invansi pasukan Tartar terhadap negeri-negeri Islam, unsur politik dan golongan
dari dalam Islam, dan adanya konflik internal di kalangan keluarga.
E.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamadah,
Muhammad Mahir, al-Maktabat fỉ al-Islam Nasy’atuha wa Tathawwuriha wa Mashairuha, Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1981.
Haq, Syed
Nomanul, “Latar Belakang India dan Persia” dalam History of Islamic Philosophy, diterjemahkan oleh Seyyed Hossein
Nasr & Oliver Leaman, Bandung: Mizan, 2003.
Huff, Toby E., “The Rise of
Early Modern Science”, dalam
Tradisi
Ilmiah Islam, Jakarta: Serambi,
2005.
Issawi, Charles,
An Arab Philosophy of History, terj., Jakarta: Tirtamas, 1976.
Lapidus,
Ira M., A History Islamic Science, terj., Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999.
Makdisi, George,
The Rise of Collages: Institutions of
Learning in Islam and the West, ttp.: Edinburgh University Press.
Nasution, Harun,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UIPress, 1985.
Qalyubi,
Syihabuddin, dkk., Dasar-Dasar Ilmu
Perpustakaan dan Informasi, Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan
Informasi, Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007.
Rifai,
Agus, Perpustakaan Islam: Konsep, Sejarah, dan Kontribusinya dalam Membangun Peradaban
Islam Masa Klasik,
Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Rosenthal,
Franz, Arabic Thought and Culture The Classical Heritage in Islam, New
York & London: Routledge, 1994.
Saepudin, Didin,
Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2007.
Sardar,
Ziauddin, Tantangan Dunia Islam Abad 21
Menjangkau Informasi, Bandung: Mizan, 1988.
Shayegan,
Yegane, “Transmisi Filsafat Yunani ke Dunia Islam”, dalam History of Islamic Philosophy,
diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Bandung: Mizan,
2003.
Sulistyo-Basuki,
Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997.
[1]
Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu
Perpustakaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 19.
[2] Ziauddin
Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21
Menjangkau Informasi (Bandung:
Mizan, 1988), hlm. 45.
[3]
Syihabuddin Qalyubi, dkk., Dasar-Dasar
Ilmu Perpustakaan dan Informasi (Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan
Informasi, Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007), hlm. 48.
[4] Ibid.
[5]
Ibid., hlm. 48-49.
[6]
Ibid., hlm. 49-54.
[7]
George Makdisi, The Rise of Collages:
Institutions of Learning in Islam and the West (ttp.: Edinburgh University
Press), hlm. 242-25.
[8]
Syihabuddin Qalyubi, dkk., Dasar-Dasar
Ilmu….., hlm. 55-56.
[9]Agus Rifai, Perpustakaan Islam: Konsep, Sejarah, dan
Kontribusinya dalam Membangun Peradaban Islam Masa Klasik (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
hlm. 76.
[10]Toby E. Huff, “The Rise of Early Modern Science”, dalam Mulyadhi Kartanegara, Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 20.
[11]Charles Issawi, An Arab
Philosophy of History, terj., (Jakarta: Tirtamas, 1976), hlm. 14.
[13]Ira
M. Lapidus, A History Islamic Science, terj. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), hlm. 55.
[14]Didin Saepudin, Sejarah Peradaban
Islam (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007), hlm. 1.
[16] Ibid.
[17] Yegane Shayegan, “Transmisi Filsafat
Yunani ke Dunia Islam”, dalam dalam History
of Islamic Philosophy, diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr & Oliver
Leaman (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 108.
[18] Yegane Shayegan, “Transmisi Filsafat….., hlm. 113.
[19] Yegane Shayegan, “Transmisi Filsafat….., hlm. 113-115.
[20] Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.
37-38.
[21] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya (Jakarta,:
UIPress, 1985), hlm. 70.
[22] Franz Rosenthal, Arabic Thought and
Culture The Classical Heritage in Islam (New York & London: Routledge, 1994), hlm. 6.
[23]Muhammad
Mahir Hamadah, al-Maktabat fỉ al-Islam Nasy’atuha wa Tathawwuriha wa Mashairuha (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah,
1981), hlm. 41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar